Bagaimana aku bisa melupakan seluruh kenangan yang
telah kita ciptakan meski hanya ribuan hari saja? Setiap detik, menit dan jam
yang berlalu, semuanya tentang kita; tentang kamu. Semua yang kita rangkai
bersama satu persatu—detil-detil kecil menjadi sangat berharga bagiku,
bagaimana mungkin aku harus menghapusnya. Memaksakan diri berhenti berpikir dan
berlari dari masalah, kau pikir aku bisa? Lalu, bagaimana denganmu, tidakkah
kau menghargai segalanya. Apakah sebuah kerikil mampu menghancurkan tembok
raksasa? Mengapa satu hal kecil bisa menghancurkan hal-hal besar yang menjebak
pertemuan kita? Kau tahu, pertanyaan-pertanyaan itu butuh jawaban, seperti aku
yang butuh alasan atas kepergianmu.
Hujan, botol minuman, arloji, dan— ya, benda-benda
mati itu menyaksikan pertemuan kita, perjalanan yang kita lalui tentunya semua
tentang kita. Saat kamu membaca kisah ini, aku yakin kamu tidak akan
mempercayainya. Kamu akan mengira jika aku mengarang semuanya. Menulis cerita
bodoh yang berupa bagian dari imajinasiku. Tapi, kamu salah. Aku tidak menulis
mimpiku, aku tidak sedang mengarang cerita pendek apalagi menulis kerangka
sebuah novel, tidak sama sekali. Aku hanya ingin berbagi tentang aku dan kamu,
menguraikan semua pahit manis yang kita kecap bersama. Aku ingin menceritakan
tiap detil dalam pertemuan kita. Bagaimana konyolnya perkenalan kita, tentang
caramu menatapku, tentang pelukan yang menenangkan, serta kasih sayang yang
sempurna. Kamu boleh tertawa, sila mengejekku, menganggap aku kekanak-kanakan,
bahkan jika kamu akan menghujat diriku sekalipun, aku tidak akan melawan. Aku
tidak mau menentangmu. Aku hanya ingin mendengar perkataanmu, kalimat-kalimat
yang kamu susun rapi, meski sebuah penghinaan, mungkin akan cukup baik untuk
membantuku melupakanmu; menghapus segala tentang kita.
Aku sedang berbaring di kamarku, menatap hampa
langit-langit kamar. Kipas angin yang menggantung di sana terus berputar dalam
satu arah tanpa henti, putaran itu memberi kesejukan, pelan membelai pipiku
yang basah. Di luar sedang gerimis, aku tidak bisa melihat purnama yang
sempurna malam ini. Suara air yang menghunjam genting membuat anak sungai
semakin banyak di wajahku. Aku menyekanya perlahan. Bangkit dari tidurku.
Mengapa aku selemah ini? Mengapa aku harus bersedih? Tangis tidak akan
menyelesaikan apapun. Air mata justru akan semakin memperkeruh keadaan. Bila
mataku membengkak, tidak ada yang akan diam saja melihatnya, semua orang akan
bertanya dan setiap pertanyaan itu butuh jawaban, sedangkan aku sedang tidak
ingin menjawab apalagi menjelaskan. Tidak ada yang mampu memahami akan tentang
perasaanku, sakitku, perihnya luka di hatiku. Bagi mereka, aku sudah dewasa.
Sepatutnya aku mampu menyelesaikan semua masalahku tanpa air mata, apalagi mengharap belas kasihan. Aku
hanya butuh semangat, tekad yang lebih besar, keberanian yang lebih matang untuk
memahami dan menerima. Karena dengan menerima berarti aku memaafkan. Butuh
energi yang besar, mental baja dan tentunya hati yang kuat seperti besi untuk
menjadi seorang pemaaf. Namun, aku tidak memilikinya. Hatiku hanya seonggok
darah yang membeku, bila diberikan luka, maka darah akan mengucur deras di
dalamnya dan air mata adalah penawar sesaat.
Aku terus larut dalam kepedihanku. Kemarin siang, aku
menemani adik untuk memperbaiki arlojinya, butuh beberapa saat dan kami harus
menunggu. Aku melirik ke seluruh bagian toko, melihat arloji-arloji yang
dipajang di dalamnya. Di sudut atas lemari gantung, mataku berhenti di sana.
Aku melihat sepasang arloji yang sangat familiar,
aku melirik tangan kiriku, persis sama. Sepasang arloji di sana persis sama
dengan arloji yang kita beli untuk menandai hubungan kita (sahabat). Aku masih
mengenakannya meskipun tidak pantas untuk ku pakai lagi. Sepasang arloji itu,
terduduk rapi di sana, sementara di lain sisi sepasang arloji yang persis sama
telah terpisah, pecah dan sudah tak serupa. Pipiku basah, air mata itu tak bisa
kubendung, aku mengingat semuanya dengan baik. Hari ulang tahunku ke tujuh
belas, kau membeli arloji itu, memberikannya padaku dengan gembira dan
menunjukkan bahwa kita memakai arloji yang sama, kau mengatakan padaku bahwa
kita akan bersama menghitung waktu yang terus berlalu. Sekarang, semua telah
berubah. Tidak ada janji yang terikrar lagi. Semuanya hancur, seperti itu
hingga aku tidak tahu bagaimana kabar arloji milikmu sekarang.
Masihkah kau ingat di hari orientasi, kamu melempar
kaleng minuman dan tidak sengaja mengenai kepalaku hingga berdarah. Apakah kamu
ingat bagaimana paniknya dirimu melihatku yang terhuyung-huyung? Aku tahu bukan
lukaku yang kau takutkan, tapi pertanyaan-pertanyaan dari senior yang tak ingin
kau jawab sehingga kau memilih bersembunyi seperti seorang pecundang. Meski
tidak sepenuhnya sadar, aku masih mengingat semua tentang hari itu sebelum aku
benar-benar terjebak dalam lingkaran hitam. Dua hari setelah kejadian itu, kau
sengaja menemuiku saat pulang. Kau berlari mengejarku, kita tidak saling
mengenal saat itu, jadi kau memanggilku dengan sebutan “gadis kaleng”. Aku
tidak tahu darimana kau mendapatkan nama itu. Sungguh tidak sesuai. Tapi itu
tidak penting lagi. Karena “gadis kaleng” itu, kamu sudah melupakannya. Membuang
jauh semua kisah tentangnya. Kamu memberiku bingkisan berpita merah muda.
Dengan gugup kau meminta maaf padaku dan menyerahkannya sebagai hadiah. Aku
menolak, aku sudah memaafkanmu, aku tahu bahwa kau tidak sengaja melempariku.
Dan itu bukan masalah besar bagiku, sehingga kau tak perlu memberiku hadiah.
Tapi kau tetap memaksaku untuk menerimanya dan berdalih sebagai hadiah
perkenalan dan tanda pertemanan. Kita berkenalan, memberitahu nama satu sama
lain, membagikan alamat masing-masing dan saling bertukar kontak. Hari itu, dua
hari setelah keningku terluka, aku menemukan seorang teman. Kamu datang sebagai
seorang sahabat dan seseorang yang juga menempati posisi istimewa di hatiku.
Hari-hari di sekolah semakin menyenangkan ketika aku
tahu bahwa kamu juga berada di kelas yang sama denganku. Kita menjadi semakin
dekat, pertemanan kita terjalin semakin erat. Kita memiliki banyak kesamaan
sehingga tidak sulit untuk kita berkomunikasi dengan baik. Waktu terus berlalu,
kita tidak lagi menyebut teman tapi kita mulai membentuk persahabatan. Kamu
selalu ada saat aku terluka, membuatku tertawa dan menghapus air mataku. Kamu
selalu memiliki cara untuk membuatku melupakan semua sakitku, menemaniku dalam
sepi dan melengkapi kasih sayang yang tidak sempurna kuperoleh dari keluargaku.
Kamu yang berkali-kali menengahi kesedihanku tatkala kedua orangtuaku sibuk mengurus
karirnya, kamu yang selalu menasehatiku untuk memberikan waktu lebih banyak
pada adikku, dia masih kecil butuh perhatian dan kasih sayang ekstra, begitu
katamu. Aku masih mengingat semuanya, tiap detil pertemuan kita, hari-hari yang
kita lalui dan semua hal kecil yang kita lakukan.
Mataku menatap buku bersampul merah di lemari, terpajang
rapi di sudut. Sebuah buku yang menyimpan cerita tentang kita. Hari sabtu, dua
tahun yang lalu, kau memintaku menemanimu mencari novel Harry Potter kegemaranmu, kita pergi ke sebuah toko buku besar
sepulang sekolah. Saat itu, aku masih belum tertarik terhadap dunia sastra. Aku
tidak suka membaca karya fiksi, apalagi berupa roman picisan— atau buku yang mengisahkan cinta sepasang remaja, bagiku
itu sangat memuakkan. Sambil menunggumu, aku tidak sengaja melihat sebuah buku
bersampul merah, aku mencoba membaca synopsis di bagian belakang. Sebuah buku
yang bercerita tentang seseorang yang berhasil menerima keadaan, memaafkan dan
menemukan pengertian cinta dengan sudut pandang yang berbeda. Synopsisnya cukup
menarik perhatianku, aku menjadi penasaran, tapi apadaya, aku lupa membawa
dompetku di hari itu dan aku harus mengurung niat untuk memilikinya.Seminggu setelah
hari itu adalah ulang tahunku. Tidak ada perayaan yang istimewa. Ibu hanya
memasak sup kepiting favoritku dan kami makan malam bersama. Itu adalah momen
yang sangat indah bagiku. Hanya waktu tertentu saja kami bisa berkumpul
bersama, menghabiskan makan malam sambil bercanda dan tertawa. Aku sangat
merindukan saat-saat indah seperti itu dalam keseharianku. Namun, aku harus
menggantung harapanku, memiliki orangtua yang berkarir tentu mempunyai
pengertian dan pemahaman akan kasih sayang yang berbeda. Lupakan tentang
keluargaku, itu tidak begitu penting di sini. Kita bertemu di kelas, kamu
mengucapkan doa terbaikmu untukku dan memberiku sebuah bingkisan berpita merah
muda (lagi). Bingkisan yang ukurannya lebih besar dari hadiah pertamamu. Kamu
memintaku membukanya- aku menurut. Dan… ya, kamu memberiku sebuah kado luar
biasa. Buku bersampul merah yang kulihat di toko buku seminggu yang lalu. Aku sangat
bahagia bisa memilikinya, aku tidak tahumengapa kau memberikannya, entah karena
kau melihatku membacanya atau mungkin kau ingin menjelaskan tentang hakikat
cinta sejati dari buku itu. kebahagiaan yang tak bisa kubendung membuatku tanpa
sadar memelukmu erat, mengucapkan terima kasih dan tak bisa berhenti tersenyum.
Aku melepas pelukan itu setelah teman-teman bersorak. Aku tidak tahu bagaimana
reaksimu, karena saat itu aku menjadi canggung dan salah tingkah. Kau tahu,
hari itu aku sungguh sangat bahagia, itu adalah senyum terbaikku, senyum
terindah yang pernah terukir di bibirku (terima kasih sudah pernah menghiasnya
di wajahku).
Masa sekolah berakhir, kita mulai tumbuh dewasa. Tuhan
kembali menyatukan kita, seleksi perguruan tinggi selesai dilaksanakan, aku
tidak menyangka kita kembali bertemu dalam program studi yang sama bahkan
berada di kelas yang sama. Kita menjadi semakin dekat, persahabatan itu semakin
erat. Kau mengenal keluargaku pun begitu denganku. Waktu terus berlalu, kita
tumbuh dewasa bersama, kau mulai menyuguhkan kata-kata manis kepadaku. Kau sudah
tumbuh menjadi seorang lelaki, ada banyak kejutan yang kau persembahkan untukku,
dan ya bunga pertama yang kau hadiahkan padaku adalah rangkaian mawar merah muda dan kau menulis pesan singkat
di kartu kecil yang kau selipkan bersama bunga-bunga itu. hampir setiap hari,
aku selalu menerima bunga darimu dengan pesan-pesan penyemangat. Tapi, satu hari
di minggu terakhir September, kamu mengirimkan setangkai mawar dan menuliskan
pesan di sana, kau memintaku menemuimu di taman, di dekat danau yang sering
kita datangi untuk sekedar menghabiskan waktu. Aku datang lebih awal dari waktu
yang kita janjikan. Aku sengaja melakukannya untuk menikmati kesendirian
sesaat, untuk menghapus rasa penasaranku dengan sikapmu yang tidak biasa. Lama
aku menunggu, persis ketika semburat senja memantul di beningnya air, kau
datang padaku, memberiku sebuket Baby’s Breath dan Pink Rose yang terangkai
indah, kau mengucapkan permintaan yang luar biasa membuatku terkejut. Aku
gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Untungnya kau adalah lelaki yang
sangat pengertian. Kau bisa membaca pikiranku, paham akan perasaanku dan
memberiku waktu untuk berpikir, berdialog dengan batinku dan memilih keputusan
yang terbaik. Hari itu kita menghabiskan senja bersama. Suara pengajian di
Surau sayup-sayup terdengar, kau mengantarku pulang. Berbisik lembut dan
berhasil membuat wajahku merah menahan malu.
Lima tahun berlalu cepat. Ribuan hari telah kita
lewati hingga tiba pada satu titik, dimana sebuah jalinan persahabatan yang
indah mulai ternodai nafsu. Kamu menyatakan perasaanmu padaku, aku bahagia
mendengarnya karena aku juga punya perasaan yang sama. Tapi, perasaan kasih
yang berlebih dalam sebuah persahabatan pasti akan mengubah segalanya. Aku
menyimpan rapat-rapat perasaanku, menyembunyikan di lubuk hati terdalam. Aku
tidak ingin perasaan yang salah ini menghancurkan persahabatan yang telah kita
bina. Aku tahu betul bahwa tidak ada persahabatan yang sesungguhnya antara
seorang laki-laki dan perempuan, cepat atau lambat tentu akan timbul perasaan
yang berbeda pada salah satu dari mereka atau mungkin keduanya. Pernyataan ini
sangat benar. Kita mengalaminya sekarang. Aku dilema, di satu sisi aku ingin
menjadi seseorang yang berharga bagimu, tapi di sisi lain aku takut
kehilanganmu dan kehilangan segalanya tentang kita jika aku terlalu berharap
pada sebuah perasaan. Kamu memberiku waktu satu minggu untuk berpikir,
menimbang dan memutuskan. Selama itu, kita terjebak dalam zona yzng sangat
menjijikkan. Kita merasa canggung satu sama lain dan itu membuatku sangat tidak
nyaman. Kau tahu, kesepian jauh lebih baik daripada canggung. Jika sepi
membuatku menangis dan tertawa sepuas hati, rasa canggung justru membuatku
sesak. Aku tidak bisa menangis karena aku tidak memiliki alasan yang kuat, pun
aku tak bisa tertawa sembarangan karena itu membuatku terlihat tidak waras. Aku
menjadi serba salah dan aku merasa bersalah.
Hari yang dijanjikan tiba, kita bertemu di tempat dan
waktu yang sama. Kamu tersenyum pun aku membalas senyummu. Suasana canggung
kembali menyelimuti kita. Aku tidak tahu harus mulai darimana, aku tidak yakin
jawabanku bisa kau terima begitu saja. Aku tahu kau menaruh harapan besar
padaku, tapi inilah keputusanku. Terima atau tidak, aku telah memutuskannya.
Aku ingin kita menjadi sahabat yang lebih baik lagi, tetap saling mendukung,
membantu dalam suka dan duka serta saling mengingatkan dan tentunya belajar
untuk melupakan perasaan kita. Aku mengira kau akan paham dengan keputusanku,
ternyata aku salah. Jawabanku mebuatmu begitu terpukul, au marah besar padaku.
Kau menghinaku, mengungkit semua hal dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku sangat
terluka demi mendengar ucapanku. Kalimat-kalimat itu begitu tajam, seperti
ribuan jarum menusuk ulu hatiku. Aku tidak pernah membayangkan bahwa seseorang
yang begitu kupercayai akan merendahkanku seperti ini. Kamu tidak terlihat
seperti dirimu. Malaikat pelindungku tiba-tiba berubah menjadi Monster. Persahabatan kita runtuh dan
semua kenangan itu rusak oleh satu kata “tidak”.
Kini semua sudah berakhir. Tidak ada yang tersisa.
Kamu pergi tanpa mengucapkan apapun selain kemarahan. Aku mencarimu tapi kamu
tak membiarkan jejakmu kutemui. Tidak masalah, aku akan mengerti. Kamu butuh
waktu untuk menenangkan diri, menata kembali hatimu, menyusun mimpi-mimpimu
dengan sempurna dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Sebagai yang tak
berhak, aku hanya bisa memelukmu dalam doa-doaku; menyebut namamu dalam setiap
permohonan. Seorang sahabat akan selalu mendoakan yang terbaik meski ia sakit
hati sekalipun, ia akan mengingat setiap kebaikan. Kita mengukir kisah di atas
batu bukan di atas pasir, butuh waktu untuk menghapusnya- tentu tidak semudah
ombak membawa pasir.
Semua yang kau ucapkan hari itu cukup membuatku sakit,
terasa bagai ditikam berkali-kali. Namun, aku masih menyayangimu, tidak
sedikitpun hadir kebencian untukmu dalam diriku. Aku tidak ingin dan tidak akan
melupakan semua kenangan kita. Semua kebaikan dan ketulusanmu akan kusimpan
sebagai harta yang sangat berharga untukku. Meski aku tidak bisa berharap kau
akan melakukan hal yang sama. Tapi, aku percaya suatu hari nanti setelah kau
mengerti dan memahami kalimatku, kau akan menerima dan memaafkan aku meskipun
kau (mungkin) membenciku selama sisa hidupmu.
_(Sisi Lain)_
Akhirnya aku menyadari bahwa aku akan kehilanganmu,
aku mengubah sahabat menjadi musuh, membalik canda tawa menjadi tangis
kepedihan, dinding persahabatan yang kita susun rapi hancur oleh waktu. Aku
menodai semua kenangan indah yang telah kita rangkai. Seiring waktu, aku percaya bahwa lukamu dan
lukaku akan membaik. Aku tahu kamu akan mengerti dan memahami tindakanku. Aku
melakukan semua untuk menguras perasaanku yang terlanjur merambat meski aku
harus kehilangan pengukir senyum di bibirku, walau aku harus mengorbankan peri
yang membuat hatiku selalu membaik dengan senyumnya. Seiring waktu, perasaan
itu mulai sirna, tidak! Perasaan itu masih sesempurna semula, hanya saja
perlahan mulai bertransformasi dalam bentuk yang baru. Rasa sakit hatiku mulai
berubah menjadi sebuah penerimaan, aku mulai bisa memaafkanmu.
Perlahan aku dapat menghapus kenangan-kenangan itu
dari bayangku, walau kerap kali aku mencemaskan dirimu- sedang apa? Dimana?
Bersama siapa?- Namun aku terus berusaha untuk menerima segalanya. Bila suatu
saat nanti kita kembali bertemu dan aku tidak menyapamu seperti dulu,
mengertilah. Bila aku tak lagi bisa memberimu senyum yang ikhlas dan hanya
menyungging paksaan, pahamilah. Aku sedang berproses untuk melupakan. Jika kau
menilaiku sombong, jahat bahkan menganggapku tidak manusiawi, itu tidak masalah
bagiku. Suatu saat kau akan tahu bahwa inilah caraku melupakanmu, inilah
strategiku untuk berlari jauh darimu. Semua penghinaan yang kukatakan, tidak
sedikitpun aku berniat untuk merendahkanmu, aku tahu itu sangat melukai harga
dirimu, tapi bila saatnya tiba kau akan paham bahwa aku melakukannya untuk bisa
menghilang dari kehidupanmu, agar aku bisa menghapus bayangku dalam dirimu.
Kuharap kau akan mengerti dengan semua yang kulakukan.
Semoga kau akan menerima jika aku tak menegurmu, tak memperdulikanmu dan tidak
menganggap keberadaanmu adalah karena aku telah menemukan jalanku. Aku telah
sampai pada titik balik, dimana kau telah menemukan kebahagiaanmu sendiri dan
aku menemukan keberkahan hidupku juga. Biarlah kita berpisah untuk memulai awal
yang baru. Biarlah perpisahan kita menjadi satu momentum yang akan kita ingat
sepanjang hayat sehingga kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Home Sweet Home | 020916
Zatul Omaira
NB :
“Kisah ini hanya fiksi belaka.
Ditulis untuk membuat orang-orang mengerti bahwa tidak semua keinginan harus
terpenuhi. Terkadang logika lebih penting diikuti daripada hanya memikirkan
perasaan. Suatu saat, untuk melindungi barang berharga, nyawa pun turut dikorbankan.”