Pengagum Rahasia #7


“Leganya hati ini. Akhirnya terbukti juga kalau aku memang tidak salah. Dan lembar jawaban tersebut juga bukan milikku. Dan yang paling penting, panah cupitku berhasil menikam sasaran “100” nilai yang sempurna untuk mata pelajaran killer seperti matematika.” Gumamku dalam hati dengan senyum penuh kepuasan.

Aku kembali ke kelas dengan wajah yang sangat gembira. Begitu terduduk, Tia, sahabatku langsung menghampiri dan memberondongku dengan sejuta pertanyaan.
“Ra, nilai ujianmu gimana? Lembar jawaban itu bukan milikmu kan? Bu Rika marah sama kamu, kan?" tanyanya dengan napas tersenggal.

“Kamu kenapa Ya? Mending tarik napas dulu, ntar aku jawab?” jawabku mengajak Tia untuk lebih santai.

Tia pun menuruti perintahku. Setelahnya, ia kembali mendesakku.

“Udah ni, udah. Ra, cerita donk gimana? Aku khawatir sama kamu???”

“Tenang Tia, tenang. Keep calm and stay woles okay..!” jawabku dengan kalimat yang cukup dibenci Tia.

“Ya, tapi gak harus ngucapin kalimat itu juga kaliiii…..” jawabnya geram.

“Okay.” jawabku.

“Jadi gimana?”

“Gimana apanya? Aku udah selesai ujian ulang dan nilai ujianku juga udah sama bu Rika. Beliau gak marah, malahan kaget, sampe-sampe jantungnya hampir terbang.” Jelasku.

“Hah? Kok bisa?” tanya Tia yang semakin penasaran.

“Bisa dong. Soalnya, panah cupitku kali ini gak lengser sedikitpun. Dengan satu kali tembakkan, langsung menancap di nilai sempurna.”

“Apa?? Maksud.. maksud kamu, nilai ujian matematikamu 100, Ra?” tanya Tia dengan wajah melongo.

“Yapsss, kamu benar banget sahabatku. Perfect!!” jawabku puas.

“Wow… double wow…!! Fabulous.. fabolaous..” ucapnya kegirangan.

“Heh, harusnya ngucapin Subhanallah, bukan kalimat alien kaya gitu.” Jawabku menggodanya.

“Hehe, iya sohibku. Tadi kelewat senang aja.” Balasnya.

“Sudah bisa membiasakan diri ya, say??”

“Iya. Oh, iya Ra. Sekarang saatnya kita menjalankan misi..” 

“Misi? Misi apa?” tanyaku kebingungan.

“Misi menangkap perampok lembar jawabanmu.” Jawab Tia.

“Gimana caranya? Kita kan nggak tau orangnya siapa?” tanyaku lugu.

“Tenang, Ra. Aku udah punya rencana, dan ini gak akan merugikan siapa pun, kecuali malingnya.” Jawab Tia meyakinkanku.

“Emm.. emang rencana kamu gimana, Ya??”

“Nanti aku kasih tau ke kamu kalo aku udah nyusun dengan sempurna dan menemukan titik terangnya. Untuk saat ini, kita bersikap biasa aja. Okay???”

“Siphh!!” jawabku mantap.
*** 

Rona merah telah merebak di ufuk barat. Mentari tak lagi memancarkan keterikan pada sinarnya, sehingga mata ini dapat sedikit meneliti lingkarannya. Angin sepoi-sepoi berhembus tenang, langit masih membiru indah, dan pipit kembali ke sarangnya dengan hati gembira.

Deru kendaraan cukup mengusik ketenanganku untuk menikmati indahnya senja. Pikiranku mulai kacau. Aku kembali memikirkan “siapa gerangan yang telah menukar lembar jawabanku? Siapakah yang tega menistakan diriku?”

Di tengah lamunan, tiba-tiba handphone-ku berdering. Satu pesan masuk. Segera kubuka pesan tersebut.

“From : 08236171xxxx | Kenapa melamun Tuan Putri? Pasti mikirin maling lembar jawabanmu ya? Jangan galau, aku akan membantumu mencarinya.. ^__^”

Mataku langsung membulat ketika membaca pesan itu. Segera kuperiksa kembali nomor pengirimnya. Aku merasa sangat mengenal nomor tersebut, tapi aku bingung siapa dia? Kenapa dia tahu isi hatiku?

Kupejamkan mata untuk mengingat kembali nomor tersebut. Dan...

“Benar! Dia adalah orang yang kujuliki “Ravers”, secret admirerku…” gumamku dalam hati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera kubalas pesannya.

“To : 08236171xxxx | Maaf, sebenarnya kamu siapa? Kenapa kamu tahu semua tentangku? Kalau kamu gentle, jangan main kucing-kucingan gini donk..!!” balasku kesal.

Tidak berapa lama kemudian, ia kembali membalas pesanku.

“From : 08236171xxxx | Maaf Tuan Putri, aku belum bisa memberitahumu mengenai identitasku saat ini. Suatu hari nanti, jika saatnya tiba, aku akan datang dan mengatakan semua sejujurnya padamu. Tapi, tidak untuk sekarang. Jika kamu merasa tidak nyaman, anggap saja pesan dariku hanya angin lalu, atau sms promosi dari operator. Sekali lagi, maafkan aku.” 

Jawabannya benar-benar sangat membuatku kesal. Amarahku mendidih di ubun-ubun, rasanya ingin sekali memakan orangnya jika bertemu langsung. Tapi, adzan magrib telah berkumandang. Suara merdu sang muadzin berhasil memadamkan api yang membara dalam jiwaku.


Bersambung …

290414 | My sweet room
Bersama sinar rembulan…
Zatul Omaira