“Leganya
hati ini. Akhirnya terbukti juga kalau aku memang tidak salah. Dan lembar
jawaban tersebut juga bukan milikku. Dan yang paling penting, panah cupitku
berhasil menikam sasaran “100” nilai yang sempurna untuk mata pelajaran killer
seperti matematika.” Gumamku dalam hati dengan senyum penuh kepuasan.
Aku
kembali ke kelas dengan wajah yang sangat gembira. Begitu terduduk, Tia, sahabatku langsung menghampiri dan memberondongku dengan sejuta pertanyaan.
“Ra,
nilai ujianmu gimana? Lembar jawaban itu bukan milikmu kan? Bu Rika marah sama kamu, kan?" tanyanya dengan napas tersenggal.
“Kamu
kenapa Ya? Mending tarik napas dulu, ntar aku jawab?” jawabku mengajak Tia
untuk lebih santai.
Tia
pun menuruti perintahku. Setelahnya, ia kembali mendesakku.
“Udah
ni, udah. Ra, cerita donk gimana? Aku khawatir sama kamu???”
“Tenang
Tia, tenang. Keep calm and stay woles okay..!” jawabku dengan kalimat yang
cukup dibenci Tia.
“Ya,
tapi gak harus ngucapin kalimat itu juga kaliiii…..” jawabnya geram.
“Okay.” jawabku.
“Jadi
gimana?”
“Gimana
apanya? Aku udah selesai ujian ulang dan nilai ujianku juga udah sama bu Rika.
Beliau gak marah, malahan kaget, sampe-sampe jantungnya hampir terbang.”
Jelasku.
“Hah?
Kok bisa?” tanya Tia yang semakin penasaran.
“Bisa
dong. Soalnya, panah cupitku kali ini gak lengser sedikitpun. Dengan satu kali
tembakkan, langsung menancap di nilai sempurna.”
“Apa??
Maksud.. maksud kamu, nilai ujian matematikamu 100, Ra?” tanya Tia dengan wajah
melongo.
“Yapsss,
kamu benar banget sahabatku. Perfect!!” jawabku puas.
“Wow…
double wow…!! Fabulous.. fabolaous..” ucapnya kegirangan.
“Heh,
harusnya ngucapin Subhanallah, bukan kalimat alien kaya gitu.” Jawabku
menggodanya.
“Hehe,
iya sohibku. Tadi kelewat senang aja.” Balasnya.
“Sudah
bisa membiasakan diri ya, say??”
“Iya.
Oh, iya Ra. Sekarang saatnya kita menjalankan misi..”
“Misi?
Misi apa?” tanyaku kebingungan.
“Misi
menangkap perampok lembar jawabanmu.” Jawab Tia.
“Gimana
caranya? Kita kan nggak tau orangnya siapa?” tanyaku lugu.
“Tenang,
Ra. Aku udah punya rencana, dan ini gak akan merugikan siapa pun, kecuali
malingnya.” Jawab Tia meyakinkanku.
“Emm..
emang rencana kamu gimana, Ya??”
“Nanti
aku kasih tau ke kamu kalo aku udah nyusun dengan sempurna dan menemukan titik
terangnya. Untuk saat ini, kita bersikap biasa aja. Okay???”
“Siphh!!”
jawabku mantap.
***
Rona
merah telah merebak di ufuk barat. Mentari tak lagi memancarkan keterikan pada
sinarnya, sehingga mata ini dapat sedikit meneliti lingkarannya. Angin
sepoi-sepoi berhembus tenang, langit masih membiru indah, dan pipit kembali ke
sarangnya dengan hati gembira.
Deru
kendaraan cukup mengusik ketenanganku untuk menikmati indahnya senja. Pikiranku
mulai kacau. Aku kembali memikirkan “siapa gerangan yang telah menukar lembar
jawabanku? Siapakah yang tega menistakan diriku?”
Di
tengah lamunan, tiba-tiba handphone-ku berdering. Satu pesan masuk. Segera
kubuka pesan tersebut.
“From : 08236171xxxx | Kenapa
melamun Tuan Putri? Pasti mikirin maling lembar jawabanmu ya? Jangan galau, aku
akan membantumu mencarinya.. ^__^”
Mataku
langsung membulat ketika membaca pesan itu. Segera kuperiksa kembali nomor
pengirimnya. Aku merasa sangat mengenal nomor tersebut, tapi aku bingung siapa
dia? Kenapa dia tahu isi hatiku?
Kupejamkan
mata untuk mengingat kembali nomor tersebut. Dan...
“Benar!
Dia adalah orang yang kujuliki “Ravers”, secret admirerku…” gumamku dalam hati.
Tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera kubalas pesannya.
“To : 08236171xxxx | Maaf,
sebenarnya kamu siapa? Kenapa kamu tahu semua tentangku? Kalau kamu gentle,
jangan main kucing-kucingan gini donk..!!” balasku kesal.
Tidak
berapa lama kemudian, ia kembali membalas pesanku.
“From : 08236171xxxx | Maaf Tuan
Putri, aku belum bisa memberitahumu mengenai identitasku saat ini. Suatu hari
nanti, jika saatnya tiba, aku akan datang dan mengatakan semua sejujurnya
padamu. Tapi, tidak untuk sekarang. Jika kamu merasa tidak nyaman, anggap saja
pesan dariku hanya angin lalu, atau sms promosi dari operator. Sekali lagi,
maafkan aku.”
Jawabannya
benar-benar sangat membuatku kesal. Amarahku mendidih di ubun-ubun, rasanya
ingin sekali memakan orangnya jika bertemu langsung. Tapi, adzan magrib telah
berkumandang. Suara merdu sang muadzin berhasil memadamkan api yang membara
dalam jiwaku.
Bersambung …
290414 | My sweet room
Bersama sinar rembulan…
Zatul Omaira
"...Begitu tiba di mejaku, sahabatku Tia langsung menghampiriku dan memberondongku dengan sejuta pertanyaan."
BalasHapusMasuk ya, hmm saya lebih enak membaca begini, "Begitu terduduk, Tia, sahabatku langsung menghampiri dan memberondongku dengan sejuta pertanyaan."
"...Bu Rika gak marahkan sama kamu?”,
BalasHapusYang ini, pada kata "marahkan" setahu saya, harusnya, "marah sama kamu, kan?,"
Oya, dalam percakapan, koma dulu baru petik tutup :)
“Udah ni, udah. Ra, cerita donk gimana? Aku khawatir sama kamu???”
BalasHapusWah, ini fatal. Jangan memakai bahasa sms dalam sebuah cerita. "don(g)" bukan "don(k)"
“Bisa donk. Soalnya, panah cupitku kali ini gak lengser sedikitpun. Dengan satu kali tembakkan, langsung nancap di nilai sempurna.”
Nancap itu lebih pada bahasa keseharian ya, mungkin lebih indah jika menancap. :)
“Gimana caranya? Kita kan gatau orangnya siapa?” tanyaku lugu.
Gatau? Hmm, lebih baik "nggak tau" deh, ya.
handphoneku. Jika tidak memakai italic, lebih baik menjadi "handphone-ku".
Oke, mungkin itu saja. Menurut isi, sudah bagus. :)
Sudah diperbaiki, terima kasih sarannya kak :')
BalasHapusMohon suntingannya untuk cerita lain juga :')