“Qila,
udah donk main hujannya, yuk pulang!!” ajaknya.
“Bentar
lagi Fa, aku ingin mengenang jalan biru ini, sebelum aku pergi dan mungkin tak
kembali…” jawabku sambil terus menahan rintik hujan yang telah membasahi tubuhku.
“Pergi?
Maksud kamu apa?” tanyanya sambil menghampiriku.
Aku
berhenti menikmati sentuhan lembut sang hujan. Kami berdiri berhadapan, saling
menatap seakan mencoba merasuki jiwa masing-masing. Kuarahkan pandanganku
mengintari seluruh taman, kutarik napas dalam-dalam untuk memberi sebuah
jawaban yang tak pernah ingin kuucapkan (juga kulakukan).
“Aku
akan pergi jauh, Fa. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita. .” jawabku
menahan air mata.
“Pergi
jauh? Kamu mau kemana Qil?” tanyanya geram.
“Aku
akan pindah ke Amerika, besok…” jelasku dengan air mata yang kini telah menyatu
dengan air hujan.
“Apa??
Tega kamu, Qila!! Kamu berjanji akan selalu bersamaku, kamu berjanji akan
menjadi bidadariku, lantas mengapa kini kamu pergi? Munafik kamu…!!” teriaknya,
lalu pergi meninggalkanku dalam derasnya rinai hujan.
Aku
tak mampu lagi berkata-kata. Lidahku kelu, hatiku hancur. Sungguh aku tak ingin
menyakitinya, mengkhianatinya, bahkan meninggalkannya. Kuserahkan semua pada
Illahi.
***
Sepuluh
tahun yang lalu…
Kenangan
menyakitkan kuukir di sini, di jalan biru. Sebuah jalan yang menjadi saksi bisu
persahabatan kami, jalan yang juga menyaksikan bagaimana tragisnya kuhancurkan
tembok persahaban yang susah payah kubangun.
Tidak
banyak perubahan yang berarti pada jalan ini, masih sama seperti sepuluh tahun
yang lalu, hanya saja udaranya terasa lebih sejuk. Karena pepohonan yang dulu
masih mungil, kini telah rindang, daunnya yang rimbun berhasil membuat sinar mentari
sulit menembusnya.
Rintik
hujan perlahan jatuh. Butir-butirnya membasahi diriku. Aku merindukan Alfa, rindu
saat-saat indah bersamanya. Aku ingin menikmati derasan hujan bersamanya.
Namun,
sejak aku kembali ke tanah air, aku belum pernah bertemu dengannya. Aku tak
tahu bagaimana parasnya saat ini, mungkin sangat tampan. Sejak hari itu, tali
persahabatan kami putus sudah. Ia hilang bersama amarah dan kebencian padaku.
Air
mataku menguncur deras seiring derasnya rinai hujan. Entah apa yang kutangisi, entah
kemunafikanku, atau karena diriku tak lagi mampu menahan rindu padanya.
Aku
merasa jika semakin lama berada di sini, kepahitan akan terus membekapku. Aku
takut kehilangan akal, lalu bertindak yang tak wajar. Kuputuskan untuk segera
kembali ke rumah, kuhapus air mataku, berusaha tampil seprima mungkin.
Baru
beberapa langkah aku beranjak, tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku.
“Aqila
Zahrina Putri……” panggilnya, lebih tepat teriaknya.
Aku
tersentak mendengar panggilan itu, langkahku terhenti. Aku masih diam di
tempatku, memeriksa sebuah suara asing memanggil namaku. “Siapakah dia?” batinku.
“Aqila
Zahrina Putri…” teriaknya lagi.
Aku
menoleh pada sumber suara itu. Sosok pria bertubuh tinggi, mata cipit khas
Arab, dengan kulit putih bersih. Ia tersenyum padaku, namun aku menatapnya
tajam, masih bergolak dengan batinku karena merasa tak mengenalnya.
Ia
berjalan ke arahku, lalu berdiri tepat di hadapanku dengan jarak sekitar enam
puluh senti. Aku sempat menatap bola matanya (aku merasa mengenalnya), lalu
segera kutundukkan pandanganku. “Ka..
kamu siapa?” tanyaku terbata-bata.
“Kamu
tak mengenalku? Kamu lupa padaku?” tanyanya lagi. dengan nada punuh selidik.
“Ka..
kamu siapa? Bagaimana bisa aku mengenalmu, jika kamu tidak memperkenalkan
dirimu!” jawabku tegas dan sedikit kesal karena merasa dipermainkan.
“Aku
Alfa, Muhammad Alfa Ghifari, sahabatmu yang kamu tinggalkan begitu saja..”
jelasnya dengan sedikit terisak.
Aku
mengangkat wajahku, menatapnya tak percaya. Aku menatap bola mata itu, hingga
kutemukan sinar amarah yang kulukis sepuluh tahun yang lalu. “Kamukah itu?
Alfaku?” gumamku dalam hati.
“Maafkan aku Fa, aku telah menyakitimu. Jika
kamu membenciku, aku ikhlas…” jawabku terisak-isak, tak lagi sanggup membendung
perihku.
“Tidak
Qil, kamulah yang seharusnya maafkan aku. Aku tidak pernah membencimu, aku
hanya kecewa karena kamu terlambat memberitahuku…” balasnya.
“Maafkan
aku Fa, aku cuma tak ingin menyakitimu…” jawabku pedih.
“Aku
mencintaimu Qila, sejak sepuluh tahun yang lalu, sebelum kamu pergi…” ucapnya
begitu saja.
Aku
terdiam, waktu seakan terhenti saat kalimat itu terucap. “A..aku..aku juga
mencintaimu Fa...” jawabku dengan lidah yang seakan bertulang.
***
Hujanku
kini berbeda. Dulu aku hanya menikmati dinginnya seorang diri. Kini, pangeranku
telah tiba, ia selalu sigap memelukku ketika dingin menusuk hingga ke ulu hati.
Jalan biru telah menjadi saksi perjalanan cintaku.
Dekapan
hangat cinta-Nya telah menumbuhkan ketegaran dalam kerapuhan, hingga Dia satukan
kami dalam genggaman takdir-Nya.
Selesai… |
060514
Bersama deru hujan…
Zatul Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar