Sepotong Luka


“Brukkk!!” Aku tak sengaja menabrak seseorang. “Maaf…!” aku Buru-buru membereskan buku yang terjatuh.
 
“No problem, ini salah saya…!” ucap wanita itu.

 Aku berdiri. Lalu kulihat wajahnya. “Vi??” ujarku.

“Sa?” Ia tak kalah kaget. Beberapa detik kami saling terpaku. Lalu ia menubrukku, memelukku erat.

“Sa, aku sungguh merindukanmu…” bisiknya.

“Aku juga..” lirihku sambil mempererat pelukan itu.

Vira dan aku adalah sahabat lama. Kami berteman sejak memulai pendidikan di taman kanak-kanak dan berlanjut sampai ke bangku sekolah menengah atas. Kami sudah merancang untuk melanjutkan pendidikan di universitas yang sama, namun takdir berkata lain. Ayah Vira bekerja di kedutaan besar dipindahkan tugas ke luar negeri, sehingga Vira ikut bersama. Di bulan-bulan pertama perpisahan kami, aku merasa seperti kehilangan separuh nyawa, meskipun kami tetap bisa berkomunikasi melalui media social. Setelah lima tahun berlalu, entah takdir apa yang Tuhan rencanakan, hari itu kami diizinkan kembali bertemu, melepas rindu, memeluk kembali kehangatan yang telah lama membeku.

“Kau baik-baik saja, Sa?” Vira menangkap kelelahan diwajahku.

Aku mencoba tersenyum seriang mungkin. “Tentu saja. Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu lagi, Vi?” ujarku berdalih.

Vira mengangguk pelan sambil menyeruput cappucinonya. “Meskipun lima tahun kita tidak bertemu, aku masih sangat mengenalmu, Sa. Jangan berbohong padaku..” 

Aku kaget mendengar kalimatnya. “Maafkan aku…” aku kalah.

Vi menarik tanganku, menggenggamnya erat. “Apakah kau tak percaya padaku lagi, Sa?”

Aku membalas genggaman itu. “Aku selalu percaya padamu, Vi…”

“Lalu, kenapa kau enggan berbagi padaku? Aku ingin kita kembali sehangat dulu, Sa..” ujarnya.

“Aku juga. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk menceritakan hal ini. Aku merasa kepalaku akan pecah setiap kali memikirkannya..”

“Maka kau harus berbagi, Sa. Masalah itu akan semakin besar bila kamu hanya memendamnya seorang diri. Berbagilah, meskipun kamu tidak akan menemukan solusi yang tepat, setidaknya bebanmu akan sedikit hilang.” Jelasnya panjang lebar.

“Aku ingin sekali berbagi, tapi tidak sekarang…”

“Lalu kapan? Ketika kamu hampir gila? Atau saat aku dan kamu ada di dunia berbeda?” 

“Bukan gitu, Vi. Aku butuh waktu…”

“Kamu butuh waktu, dan kamu tahu pertemuan kita juga sangat singkat. Minggu depan aku kembali ke Sydney. Ayah memberikan waktu satu minggu untukku bertemu denganmu.” 

“Baiklah..” jawabku lemas.

Vi menatapku tajam. Aku memalingkan wajah, melihat langit yang membiru. “Ini tentang Rey?” Vi mulai menyelidiki.

Aku menarik napas dalam. Mengangguk pelan.

“Apa yang terjadi?”

“Aku menyerah…” lirihku.

“Apa? Kenapa?” Vi menyerangku.

“Entahlah. Aku merasa tidak ada yang perlu kuperjuangkan lagi.”

“Maksudmu?”

“Vi, apakah kau sanggup memperjuangkan seseorang yang jelas-jelas memperjuangkan orang lain?”

Vi menggeleng, ia semakin kebingungan. “Aku tak mengerti..” jawabnya.

“Rey hanya mempermainkanku, ia mencintai orang lain, bukan aku. Ia menjadikanku sebagai bonekanya, pelarian semata.”

“Tapi…”

“Itulah Rey yang sesungguhnya. Entah ia sengaja menyakitiku atau hanya ingin menguji kesabaranku. Aku tak peduli, Vi. Aku lelah menghadapi sikapnya. Wanita itu butuh kepastian, Vi.” Aku memotong kalimatnya.

“Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku tak tahu harus membela siapa. Rey pun tak pernah mengatakan apapun padaku setelah ia bertanya adakah lelaki lain dihatimu, aku mengatakan hanya ia satu-satunya dan ia tak membalas pesanku lagi. Lalu setelah itu kami tak pernah lagi berkomunikasi.”

“Sudahlah Vi, aku tak ingin membahas ini lagi. Aku benar-benar berhenti untuknya. Aku ingin melupakan semua ini…”

“Semangat, Sa. Aku akan selalu mendukungmu.” Vi memelukku.

“Terima kasih, Vi…” bisikku dalam pelukannya.

Jemput yang mencarimu, jangan cari yang membiarkanmu…
110116 | 17.07
Zatul Omaira