Aku
tidak tahu harus memulai dengan kalimat apa? Aku tidak paham bagaimana caranya
aku menuliskan kisah ini dengan benar. Entah dari sudut mana aku harus membuka
cerita ini? Sungguh aku bingung. Ini terlalu sulit, jauh lebih mudah bagiku
untuk menulis tugas akhirku dibandingkan menuliskan kisah kepergianmu. Sejujurnya,
aku tidak ingin membagikan kisah ini pada banyak orang, namun aku juga tidak
mampu menyimpannya seorang diri. Aku juga tidak sanggup menjawab pertanyaan
yang sama, menceritakan kenangan yang sama ketika mereka bertanya.
Aku
tidak percaya bahwa aku harus kehilanganmu secepat ini. Rasanya, ini seperti
mimpi buruk, seperti sebuah khayalan yang sesungguhnya tidak pernah kuinginkan.
Kepergianmu menyisakan luka yang begitu dalam di relung hatiku. Aku tidak tahu
sampai kapan luka itu akan terus berdarah. Aku tidak tahu sampai kapan rasa
sakit itu akan terus berdenyut di hatiku. Aku tidak tahu bagaimana caranya
melanjutkan perjalanan hidup yang entah seberapa panjang lagi tanpamu. Aku tidak
tahu bagaimana caranya aku bisa bertahan hanya dengan separuh sayapku saja. Kepergianmu
sesungguhnya adalah pukulan terhebat dalam hidupku. Kau pergi begitu saja,
tanpa pernah memberikan isyarat pasti, tanpa meninggalkan sedikit pesan pun
padaku, dan ya—kau pergi tanpa menungguku disisimu, kau pergi begitu saja,
tanpa memberiku kesempatan untuk mencium, memeluk dan menggenggam tanganmu yang
hangat itu.
Setelah
lima puluh lima hari kau pergi meninggalkanku, malam ini, dalam kesunyian
kucoba untuk menuliskan sedikit kisah tentang kita, tentang cintamu yang begitu
besar, tentang kepergianmu yang tiba-tiba, dan tentang perpisahan yang penuh
duka. Aku tidak pernah membayangkan bahwa Tuhan akan mematahkan sebelah sayapku
begitu cepat. Aku tidak menyangka, bahwa sedikit kebahagiaan yang baru saja
kucicipi ditelan pahit kehilangan. Semuanya sirna ketika kau memilih pulang,
menepati janjimu pada-Nya. Aku yakin, ketika mereka membaca sedikit narasi di
atas, mereka akan berpikir bahwa aku menulis kisah ini untuk seseorang yang special.
Dan benar, aku menulisnya untuk seseorang yang sangat berharga dala hidupku. Seseorang
yang Tuhan kirimkan untuk melindungiku, menjagaku, membahagiakanku, memberiku
segalanya dan tidak akan pernah terganti oleh siapapun.
Aku
menulis kisah ini untuk seorang laki-laki yang darah kentalnya mengalir
ditubuhku. Laki-laki yang telah menyumbang 23 pasang kromosomnya untukku. Laki-laki
yang merelakan separuh hidupnya untuk menafkahiku. Laki-laki yang pergi tanpa
menunggu aku kembali.
Ayah~
panggilan yang selalu membuatku rindu akan getar suaranya. Kata yang membuatku
terpacu untuk terus berusaha menjadi lebih baik. Seseorang yang mencintaiku
tanpa “mengapa?”.
Masih
segar dalam ingatku, pukul 05 .00 WIB, ketika kami tiba di Banda Aceh,
tiba-tiba angin menerpa tanpa pamrih disusul rintisan hujan, persis seperti
sebuah badai kecil. Aku tidak tahu entah itu pertanda buruk atau hanya sebuah
ketidaksengajaan mengingat cuaca akhir tahun yang umumnya tidak stabil. Sembari
menunggu jemputan, ayah mengajakku sarapan. Aku tidak begitu selera melihat
makanan di pagi buta, tapi ayah makan dengan lahapnya. Pukul 10.00 WIB, kita
tiba di Pelabuhan, hari itu ayah sengaja cuti dari sekolah agar bisa
mengantarkan putri kecilnya memenuhi kewajiban. Melihat cuaca yang tidak
bersahabat dan perasaanku yang gundah, aku melarang ayah mengantarkan ku sampai
ke tempat tujuan. Beliau memaksa untuk ikut, namun aku bersikeras untuk pergi
dengan temanku saja dan meyakinkan beliau bahwa aku akan baik-baik saja. Waktu keberangkatan
tiba, sungguh rasanya berat sekali berpisah dengannya. Aku menyalami dan
mencium tangannya dengan khidmat tanpa pernah tahu bahwa itu menjadi salamku
yang terakhir untuknya. Aku menahan air mataku agar tidak jatuh di depannya,
aku tahu bahwa ayah juga menahan air matanya untukku.
Senin,
31 Juli 2017 pukul 10.30 WIB, aku masih berbicara dengan ayah, mendengar
suaranya yang masih sangat segar. Aku tak pernah menyangka bahwa itu menjadi
percakapan terakhir kami. Aku tak menduga, bahwa itu adalah suara terakhirnya
untukku. Tuhan memanggil-Nya begitu cepat tanpa memberi sedikit pun isyarat
nyata akan kepergiannya. Senin, 31 Juli 2017 pukul 15.00, ayah berpulang,
memenuhi panggilan Illahi Rabbi tapat pada usianya yang masih sangat muda, 48
Tahun 7 Bulan. Sebaik apapun scenario yang telah kurancang, Rencana Allah jauh
lebih baik. Kepergiannya di hari itu telah memupuskan seluruh harapanku. Mama bercerita
bahwa dihari kepergiannya, hujan turun dengan tenang, mentari sedikit meredup,
tidak ada angin apalagi petir. Alam mengisyaratkan bahwa kepergiannya sungguh
penuh kerelaan meskipun ia bersedih meninggalkan mutiara-mutiara kecilnya. Seluruh
kisah kehidupan manusia telah jauh ditetapkan di azali, kapan engkau
dilahirkan, kapan engkau kembali, dengan siapa engkau melayari hidup,
seluruhnya telah rapi disampan dalam laugh-mahfudz.
Ayah,
aku akan selalu mengingat pesanmu untuk tetap tegar meskipun kau tak lagi
disisiku. Kau memintaku untuk tidak pernah menyerah meraih mimpi meski aku
tidak lagi bisa berkeluh kesah padamu. Ayah, bagiku kau masih tetap hidup,
hanya saja kini kau sedang merantau di tempat yang jauh dan tidak akan kembali.
Kau akan menunggu kami di sana dan kita akan bertemu kembali, berkumpul bersama
di Jannah-Nya. Kau pergi untuk mengajarkan kami tentang kemandirian, keikhlasan,
ketulusan dan menjaga rasa saling mengasihi. Kau hanya pergi untuk menguji
kesabaran kami, untuk memacu semangat kami, untuk mendukung kami meraih
kesuksesan dengan keringat bukan dengan air mata.
Ayah,
meski kini aku tak bisa lagi mendengar suaramu, tapi aku tahu kau masih bisa
mendengar putri kecilmu bercerita dalam doa-doanya. Ayah, meski kini rinduku
tak bisa lagi kau balas dengan helaan nafsmu di balik sambungan telepon, tapi
aku tahu bahwa dari tempatmu berada, kau selalu memberikan restu padaku. Ayah,
meski kini aku tak lagi bisa meminta banyak hal padamu, tapiaku tahu bahwa kau
tetap memberikan apapun dengan doamu untukku. Ayah, meski kepergianmu telah
menghancurkan seluruh harapanku, aku akan tetap berusaha untuk kembali bangkit
dan menyusun kembali puing-puing mimpi itu menjadi sebuah kenyataan. Ayah, aku
akan selalu mengingat pesanmu untuk tetap berjalan dengan kedua kakku selagi
aku memilikinya, bekerja dengan kedua tanganku selagi aku mampu dan member dengan
ikhlas karena tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Ayah aku
juga selalu mengingat caramu mengajarkan kami untuk berusaha mandiri bukan
berdiri dibalik nama orangtua.
Dad, you know there is
always a special bond between a father and a daughter. You are one man in the
world who will never hurt me. You taught me the love of a father. In your arms I
always safe, you always there when I needed you, you listened to me and taught
me so many things, you treat me very good, you are my firs love, my everlasting
sunset, and I love you more than my self.
~Dad, someday I will
find my Prince, but you always be my King~
Banda Aceh, September 2017
You’re Lil’princess
Zatul Omaira
Note:
Bagi yang membaca kisah ini, saya
harap keikhlasannya untuk menghadiahkan surah Al-Fatihah kepada almarhum ayahanda
saya, Asraruddin bin H.M. Thaib