3
hari sebelumnya…
Senjaku
telah merona di ufuk barat. Semesta tersenyum, seindah rona jingga yang
membalut cakrawala. Dedaunan padi menari molek, mengikuti deru angin.
“Icha,
masuk yuk??” ajak Gita, sahabatku semenjak TK dulu.
“Sebentar
lagi ya Ta, senjanya udah nanggung nih?” jawabku sembari tersenyum padanya.
“Baiklah.
Oh ya Cha, menurut kamu hal apa yang membuat senja begitu berarti untukmu?”
tanyanya.
“Entahlah
Git, aku merasa senja memiliki sesuatu yang tak di miliki yang lain. Jingga, penuh
kedamaian.” Jawabku sambil terus menatap senjaku.
Gita
menarik napas panjang. Pandangannya mengarah ke seluruh sudut alam, seolah
mencari titik kelemahan senja.
“Kamu
benar Cha, senja terlalu sempurna untuk mendengar keluh kesah. Senja punya cara
untuk menghapus duka. Meski kadang ia juga terluka saat menanti fajar yang tak
kunjung bisa dipeluknya.” Jawabnya pasrah.
“Entahlah,
tapi rencana Allah jauh lebih baik.” jawabku mengakhiri percakapan kami karena
adzan telah berkumandang.
“Iya
Cha, yuk shalat.” Ajak Gita sambil membantuku berjalan.
***
Selama
seminggu ini aku telah menghabiskan waktu bersama Gita di villanya yang
terletak di kawasan Puncak. Memandangi hamparan hijau kebun teh di pagi hari,
juga menyaksikan keindahan senja kala petang menjemput telah membantu
kesembuhanku. Meskipun aku tak yakin akan benar-benar sembuh, mungkin saja
perjalanan hidupku akan sesingkat bayangku.
Kuhamparkan
pandangan ke seluruh ruangan. Dinding ini sangat kokoh, sedang aku amat rapuh.
Air mataku meluruh, membasuh pipiku yang kini mulai tirus. Aku kembali
menangisi sosok yang bahkan enggan menatapku. Kembali terbayang senja terakhir
yang mat menyakitkan bersamanya.
“Cha,
kamu kenapa?” tanya laki-laki itu ketika kami duduk di taman. Sepertinya ia menyadari
tatapanku yang tak berkedip memandangi wajahnya.
“Oh..
aku gapapa kok bang..” jawabku menyembunyikan rona malu yang tersirat di
wajahku.
“Cha,
kamu pernah jatuh cinta?” tanyanya dengan tarikan napas berat sambil terus
menatap langit yang membiru indah.
Aku
sangat terkejut mendengar pernyataannya. Ingin rasanya kuungkap perasaanku
padanya. Tapi aku tak mampu. “Kenapa bang?” jawabku. Jawaban yang tak
seharusnya kuberikan.
“Karena
abang merasa seperti sedang merasakannya..” jawabnya dengan napas berat.
“Benarkah?
Siapa gadis itu?” tanyaku penasaran. Harapanku telah bersiap menanti.
“Dia
teman abang di kampus, Abang tak bisa memberitahukan detailnya sekarang. Karena
abang juga belum yakin?” jawabnya lagi.
“Belum
yakin? Maksudnya?” tanyaku lagi. Aku menyembunyikan kekecewaanku di sudut hati.
“Iya,
sepertinya dia sudah memiliki orang lain. Kamu tahu Cha, hati abang sangat
sakit karena tak bisa mengungkapkan rasa ini padanya.” Jelas pria itu, lalu
membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangannya.
“Yang
sabar ya bang…” ucapku sambil memukul pundaknya. Dalam hati aku menangis. Pedih
sekali, rasanya ragaku seperti dihantam ribuan ton besi. Tapi, air mataku tak
menetes, entah bagaimana aku bisa begitu tegar saat itu.
Pertemuan
tak terduga setahun lalu telah merubah seluruh hidupku. Aku jatuh cinta
padanya. Ya, cinta pada pandangan pertama. Aku adalah sosok yang aku tak pernah
percaya pada kalimat itu; dulu. Nyatanya, kini dirikulah yang mengalami hal
itu. Meski logikaku menolaknya berkali-kali.
Andai
ia tahu, jika aku juga terluka. Andai ia mengerti bahwa lukaku lebih parah dari
lukanya. Mungkin aka nada rasa iba yang hadir di benaknya, meski kutahu ia tak
pernah bisa mencintaiku.
Setelah
peristiwa menyakitkan di taman sore itu, aku berusaha untuk melupakannya. menghindari
pertemuan dengannya, hingga menjauh darinya dengan berlibur ke Puncak bersama
sahabatku, meski kini kondisiku dapat dikatakan sangat buruk.
Sejak
hari itu, aku sadar bahwa diriku terlalu naïf. Mencintai hamba-Nya lebih besar
dari cintaku untuk sang Khalik. Aku tahu bahwa sandaran cinta terbaik adalah
pada-Nya. Tak ada kata kecewa, tak ada sesal, tak ada perih, bahkan luka.
***
Hari
H…
“Cha,
kamu kenapa?” tanya Gita panik melihat darah terus menetes dari hidungku.
“A..
aku gak papa, Git. Tolong ambilkan tissue..” jawabku padanya.
“Gapapa
gimana? Kita harus ke rumah sakit, ayo!!” jawab Gita sambil memapahku menuju
mobilnya.
Aku
semakin lemah. Dalam perjalanan, hanya isak tangis dan dzikir yang terlantun
dari bibir sahabatku itu.
Sesaat
kemudian kami sampai di rumah sakit, dokter segera meanganiku. Aku bisa melihat
gurat keputusasaan di wajah mereka. Aku masih bisa mendengar apa yang mereka
sampaikan pada keluargaku, pada sosok yang kucintai, yang ternyata juga hadir
di sini.
Tiba-tiba,
sebongkah cahaya terang menyilaukan pandanganku. Aku tidak bisa melihat apapun,
di saat yang sama tubuhku semakin ringan. Perlahan, suara riuh keluarga dan
sahabatku tak lagi terdengar. Aku pergi menemui cinta sejatiku.
***
Andai
masih ada esok untukku, ingin kuungkap semua rasa padanya. Aku tak ingin
memendam luka ini lebih dalam. Meski perjalanan cintaku amat tragis, aku tak
pernah menyesalinya, bahkan hingga aku mati. Karena sebaik-baiknya rencana
manusia, kehendak Allah jauh lebih baik.
Mengais asa di jalan cinta-Nya…
Zatul Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar