Gemercik rintik hujan yang menabrak genting-genting rumah perlahan mulai
mengeras sebelum akhirnya rintik-rintik itu berganti menjadi pintalan-pintalan
benang yang jatuh dari angkasa. Aroma tanah basah yang dulu amat kusukai kian
menusuk hidung. Aku beranjak dari ranjangku, menutup jendela yang masih kubiarkan
terbuka sejak sore tadi. Ibu berkali-kali mengingatkanku untuk menutupnya
sebelun magrib, namun kuabaikan. Aku butuh udara segar di kamarku.
Aku berdiri di depan cermin. Memandangi bayangku. Menatap kosong pada
kedua bola mataku. Aku tak bertahan lama. Kembali kubersembunyi di balik
selimut. Aku tak ingin mendengar suara hujan di malam hari, apalagi menikmati
keharuman tanah basah. Aku sungguh membenci hal itu. Setiap tarikan nafas yang
ikut membawa aromanya ke darahku, membuatku menerima rasa sakit yang sama. Luka
itu belum sembuh. Setiap kali tumbukan hujan itu terdengar di telingaku,
kenangan itu seakan nyata di mataku. Aku benci pada aroma tanah basah, apalagi
suara hujan di malam hari.
Aku berusaha menutup telingaku erat-erat, tapi usahaku sia-sia. Hujan semakin
deras, pun air mataku yang tak lagi bisa kubendung. Kusingkap selimutku, aku
kembali dari persembunyianku. Aku menyerah!
Isakku semakin deras ketika bayangan kilat menyala di jendela. Semuanya
berakhir. Kukira aku telah berhasil mengubur kenangan itu dalam-dalam. Nyatanya,
aku tak berhasil, aku salah kaprah. Aku hanya berusaha untuk tak mengingatnya,
bukan berusaha untuk mengikhlaskan segalanya.
Setelah dua ribu tiga ratus hari berlalu, aku masih berada dalam
keterpurukkan yang sama seperti hari itu. tidak sedikitpun berubah. Tangisku masih
sama, lukaku juga masih sama parahnya--tidak mengering.
Dua ribu sembilan puluh sembilan hari aku menyia-nyiakan kesempatan. Berlari
kesana kemari, tersenyum sumringah, menguatkan diri dan… semuanya berkahir malam
ini. Suara hujan, aroma tanah basah—luluhlanta semua usahaku.
Masih pekat diingatanku, malam itu kita bertemu untuk merayakan hari
terakhir kebersamaan kita sebelum kau hijrah ke benua seberang. Kita tidak tahu
bahwa itu bukan sekedar malam terakhir kita berada di benua yang sama, bahwa
ternyata malam itu pun malam terakhir kita berada di dunia yang sama. Semua tidak
akan terjadi jika aku bisa menahan amarah. Bila aku sanggup mengalahkan egoku
sedikit saja, mungkin kau masih di sini meski kita tak lagi saling menggenggam.
Malam itu kau bawakan sebuket baby breath untukku. Katamu, bunga ini
melambangkan sebuah kepolosan dan ketulusan, seperti aku. Aku tersipu. Kau bukan
seseorang yang puitis, kau sungguh biasa-biasa saja. Itu adalah kalimat luar
biasa yang pertama kali kudengar malam itu setelah sekian lama kita bersama. Aku
tak tahu entah darimana kau belajar tentang bunga, bahkan aku tak mengerti
mengapa kau mendadak berubah sedewasa itu.
Kita menikmati malam di taman rumahku. Menatap purnama bersama, sebelum
akhirnya dering handphonemu merusak segalanya. Deringnya semakin keras, kau
hanya abai. Aku memberitahumu, tapi kau tak peduli. Handphonemu berkali-kali bordering,
aku merasa terganggu. Katamu salah sambung, tapi kau enggan mengangkatnya. Aku melihat
aura yang berbeda di wajahmu. Hingga akhirnya aku kalap, kurebut handphone itu
dan aku menerima panggilan. Di seberang sana, seseorang memanggilmu dengan
sebutan ‘sayang’ yang sangat manja. Jelas itu seorang wanita, bukan ibumu. Aku beranjak,
melempar benda itu sembarang. Kau menahanku, tapi amarah dalam dadaku terlalu
membara. Kau mencoba menenangkanku, tapi egoku terlalu tinggi. Aku tak butuh
bunga itu. aku tak butuh penjelasan apapun. Kata ‘sayang’ itu telah menjelaskan
segalanya. Purnama di langit sana perlahan meredup tertutup awan. Mungkin ia
takut menyaksikan pertengkaran besar itu.
Aku pergi meninggalkanmu seorang diri. Aku berlari ke kamarku, menahan
tangis semampuku. Aku berdiri di balik jendela. Menyingkap tirainya sedikit,
melihat kepergianmu. Pikiranku kacau, aku tak percaya bahwa kau tega mengkhianatiku.
Belum lima menit setelah kau meninggalkan taman, hujan deras turun membasahi
bumi. Hujan berhasil memecah tangisku. Aku menutup wajahku dengan bantal, aku
tak ingin seorangpun mendengar tangisku. Berat sekali menanggung luka
pengkhianantan.
Entah berapa lama aku bertahan dalam tangisku hingga aku tertidur pulas.
Memimpikan kebersamaan kita. Mimpi indah itu buyar ketika ibu membangunkanku,
memelukku erat dalam tangisnya. Aku kebingungan, tak mengerti yang terjadi. Ia memintaku
mengganti pakaian, memakai serba hitam, ada yang ingin disampaikan. Tak butuh
waktu lama, aku tiba di rumahmu, masih dipekatnya malam, masih diiringi rintik
hujan, rumahmu dipenuhi orang-orang berwajah muram, berpakaian serba hitam. Langkahku
semakin dekat dengan pintu utama, lantunan ayat-ayat cinta semakin terdengar
jelas dan aku semakin kebingungan. Aku tiba, ibumu menubrukku, memelukku
erat-erat, membisikkan kalimat-kalimat penguat yang tak kupahami. Ia menuntunku
perlahan menuju pada sosok yang terbaring di tengah ruangan, dikelilingi oleh
khalayak ramai dan tertutup rapi sehelai kain. Aku masih tak paham, memandang
kosong pada sekeliling. Ayahmu membuka kain itu perlahan dan… Deg! Itu kamu! Tertidur
pulas untuk selamanya. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Yang kutahu aku
terbangun dengan kepala berat, berada di depan gundukkan tanah yang penuh
dengan bunga bertuliskan namamu. Aroma tanah basah dan wangi bunga itu menusuk
hingga relung hati terdalam.
Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi kepergianmu. tangisku semakin keras tatkala aku tahu bahwa gadis itu adalah sepupumu, dia terbiasa memanggilmu 'sayang'. Panggilan itu ia lontarkan untuk membuatmu kesal, dia sama sepertiku-- sedikit jahil. Aku sungguh sangat menyesal, aku tak bisa melawan egoku. Seharusnya, hari itu aku memang mengantarkan kepergianmu. Bukan ke dunia lain, tapi ke benua
lain. Hari itu memang perpisahan kita, bukan untuk selamanya, tapi hanya
sementara. Namun, takdir berkata lain. Kau pergi—kita berpisah untuk selamanya.
Setelah dua ribu tiga ratus hari berlalu. Perasaanku masih sama, tidak
ada yang berubah. Belum ada yang bisa menggantikanmu. Kau tetap satu-satunya
yang kumiliki dan memiliki hatiku. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa menerima
kenyataan. Entah berapa banyak hari lagi yang kubutuhkan untuk memaafkan diriku
sendiri. Aku menyesal. Tapi, tak ada yang bisa kembali. Semua telah terjadi.
20032016
Zatul Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar