“Siska
sayang, kamu masih sakit. Mana bisa kamu ke sekolah ! ”.
“Gak
ma, Siska bisa. Siska pasti bisa..!!”
“Siska,
kamu harus istirahat dulu, nanti kalo udah sembuh baru ke sekolah ya ?”
“Enggak
!!! Siska tetap mau ke sekolah, titik!”
“Tapi
Siska, kamu masih sakit. Luka di kaki kamu masih basah.”
“Cukup..!!
Aku gak butuh perhatian kalian, sekarang aku tuh udah gak bisa apa-apa lagi.
Aku cacat!!”
“Siska
!! Kamu sadar dong, mama sama kak Fery sayang sama kamu. Kamu tidak cacat
adikku. Kamu tetap Siska yang dulu bagi kami.”
“Tidak
kak, aku cacat. Aku gak berguna lagi, lebih baik aku mati aja..”
“Istighfar
Siska.., Kamu gak boleh ngomong gitu nak.”
~~~
Itulah
sepenggal percakapan yang mengawali hari-hari terberatku. Oh iya aku lupa,
perkenalkan namaku Siska Ayunda, aku anak bungsu dan punya seorang kakak
namanya Ahmad Faryza, tapi aku manggilnya ka Fery.
Sabtu
sore itu telah merebut semua kebahagianku. Sore itu aku mendesak ayah untuk
menjemputku latihan karate, meski aku tau ayah sangat lelah, aku tetap
memaksanya, dan akhirnya ia pun menuruti permintaan putri kesayangannya.
Saat
kami dalam perjalanan pulang, hujan turun sangat deras hingga jalanan tampak
begitu berkabut. Mobil kami melaju dengan kecepatan normal, tiba-tiba dari arah
berlawanan sebuah truk dengan kecepatan tinggi menabrak mobil kami. Saat itu
aku berteriak, seolah dunia berputar tujuh keliling, setelah itu semuanya
gelap.
Setelah
sebulan aku tidur panjang dengan bantuan mesin-mesin yang menyakitiku itu, aku
pun terbangun. Ku rasakan nyeri luar biasa di kaki kananku. Aku tak bisa
menggerakkanya. Dalam rintih ku panggil mama perlahan. Ia segera datang dan
memelukku erat. Ku lihat hanya kak Fery, Mama, om Andy, tante Sinta dan Fany yang
hadir, lalu dimana ayah? Dengan perasaan tak karuan kucoba bertanya pada mama.
Betapa terkejutnya aku, ternyata ayah meninggal karenaku. Aku menagis
sejadi-jadinya, aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku
benar-benar terpukul, terlebih lagi saat ku ketahui kaki kananku harus
diamputasi karena lukanya terlalu parah. Remuk redam jiwaku, hancur terurai.
Bersama
orang-orang yang terus menyemangatiku, aku mulai bengkit perlahan-lahan. Aku
mulai mampu menerima takdirku, meski terkadang emosiku labil tatkala melihat
mereka terlalu iba padaku. Aku tak mau dikasihani, aku hanya ingin dipandang
seperti dulu, bukan Siska yang cacat.
Setelah
kepergian ayah, hidup kami tak semakmur dulu. Uang asuransi dan pensiunan ayah
habis untuk biaya pengobatanku, belum lagi untuk biaya sekolah dan kuliah kak
Fery, entah darimana kami akan mendapatkannya. Tapai, mama selalu meyakinkanku
bahwa Allah memberikan ujian pada hamba-Nya takkan melewati batas mampu.
Kini,
mama dan kak Ferylah yang menjadi tulang punggung keluarga. Alhamdulillah,
karena kedsiplinan dan kepandaian kak Fery, ia mendapat beasiswa dan akan
melanjutkan pendidikannya ke Jepang. Aku sangat sedih, saat kembali harus
berpisah dengan orang yang sangat ku sayangi.
Sekarang
hanya aku dan mama yang berada di rumah, rasanya sepi sekali. Air mataku selalu
jatuh saat akan berangkat ke sekolah
karena harus meninggalkan mama sendirian. Setiap pagi sahabatku Fany
selalu setia menjemputku ke sekolah dan ia juga yang mengantarku ke rumah usai
sekolah. Fany adalah anugerah Tuhan yang paling ku cintai setelah keluargaku.
“Assalamualaikum,
ma..”
“Waalaikumsalam.
Kamu udah pulang sayang? Makasih ya Fany, udah nganterin Siska.”
“Iya
Bun, sama-sama. Bun, Fany langsung pamit pulang ya, hari ini mama ngadain
arisan di rumah, jadi Fany harus bantu mama.”
“Yasudah,
hati-hati ya. Oya, besok pulang sekolah kamu harus mampir ya? Salam untuk
mamamu..?”
“Iya
Bunda, Pasti.”
Setelah Fany pulang. Aku langsung
mengganti bajuku, lalu ke dapur membantu mama.
“Ma,
kok mama nyuruh Fany mampir besok? Memang ada apa ma?”
“Gak
ada apa-apa kok sayang. Besok mama Cuma mau nyuruh Fany ikut makan siang bareng
kita aja. Boleh kan?”
“Boleh
dong. Fany kan sahabat aku, masa ga boleh sih?
Oya
ma, kak Fery kapan pulang ya? Aku udah kangen banget?”
“Katanya
lebaran idul firi nanti, kakakmu baru pulang. Diakan harus ngejar beasiswanya
sayang?”
“
Iya sih ma.”
“Yasudah
kamu tidur sana, besok telat ke sekolah.”
“Tapi
mama belum selesai nih ngaduk adonannya, aku bantuin ya ma, nanti kita tidurnya
bareng..”
“Gak
usah sayang, ini juga sebentar lagi udah siap. Kamu tidur gih..!”
“Baiklah
ma, Good Night.”
“Nite
too, honey..” sahut mama sembari mengecup keningku.
Setelah kepergian ayah, mamalah yang
membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, juga biaya pengobatan
kakiku. Sedangkan kak Fery, seluruh biaya hidupnya ditanggung dari beasiswa
itu, tapi ia juga mencari kerjaan sampingan untuk membantu mama.
Terkadang
aku sedih, saat melihat mama yang gak pernah nyerah demi aku. Mama begitu
lembut, tak pernah ia mengeluarkan kata-kata yang kasar bahkan saat aku begitu
labil. Mama selalu setia mendampingi aku, dan terus memotivasi aku. Apapun akan
ia lakukan asal aku bisa meraih mimpiku. Saat ini mama membuka usaha katering
kecil-kecilan, biasanya tetangga sekitar jika mengadakan acara pasti memesan
pada mama.
Mama
selalu berusaha membuat pelanggannya puas, bahkan ia rela tidak tidur semalaman,
seperti saat membuat kue tart untuk ulang tahun Riza yang dekorasinya sangat
rumit. Kadang aku benci pada pelanggan yang super pelit, padahal mama udah
nyoba buat persis kayak apa yang dia minta, tapi slalu aja ada alasannya supaya
dia bisa bayar murah, dan itulah mama, gak pernah mau berdebat.
Aku
selalu punya mimpi untuk bisa bahagiain mama. Aku ingin sekali bisa meringankan
beban mama. Tapi, apa daya fisikku ga mungkin bisa wujudkan keinginanku. Namun,
aku sadar bahwa Allah selalu membantu hambanya yang kesulitan.
Pernah
suatu hari, aku membaca event menulis cerpen tentang mensyukuri kehidupan,
hadiahnya memang tidak seberapa, namun bisa membuatku mampu membantu mama
sekaligus mengasah kecepanku dalam menulis.
Seharian
penuh ku pikirkan ide untuk menulis cerita itu, akhirnya aku mengungkapkan
kisahku. Setelah selesai ku kirimkan pada pihak panitia. Sepuluh hari tlah
berlalu, ternyata hari ini pengumuman sang juara di terbitkan, aku lupa namun
Fany yang memberitahuku bahwa aku memenangkan lomba itu. Ribuan Hamdalah dan
syukur ku ucapkan pada Rabbiku, kini langkah pertamaku untuk meringankan mama
tlah berhasil. Tinggal tahap selanjutnya.
~~~
“Cie,
ibu dokternya cantik kali..”Gurau kak Fery.
“Kakak,
bisa aja ah. Jadi malu? Mama mana kak?”
“Tuh,
mama!! sambil menunjuk mama.”
Ya Allah, meskipun wajah mama mulai
keriput, ia tetap cantik di balik kerudung dan kebayak hijaunya. Ku peluk mama
erat-erat. Kalau bukan karena kegigihannya, mungkin aku gak akan bisa seperti
sekarang ini. Meskipun aku cacat, hari ini aku bisa mengenakan baju toga, aku
resmi jadi seorang dokter, seperti yang ayah harapkan.
“Kamu
cantik sekali, Siska! Selamat ya sayang.”
“Makasih
ma, makasih kak Fery. Tanpa kalian mungkin aku bukan apa-apa.”
“Sudahlah!
Ini hari bahagia, gak boleh ada air mata setetes pun.., tiba-tiba om Andy dan
tante Sinta datang bersama.”
“Benar
Siska, mana senyumnya?, lanjut Fany.”
“Nih…,
kataku sambil tersenyum lebar.”
Semua bahagia hari itu. Kak Fery
sekarang menjadi manajer di salah satu perusahaan softwere terbesar di kota
kami. Fany menjadi dosen Biologi di salah satu Universitas negeri terkenal,
sesuai cita-citanya. Dan aku kini menjadi seorang dokter, seperti janjiku, kan
ku abdikan seluruh jiwa dan ragaku untuk mereka yang membutuhkannya.
Terimakasih untuk semua yang selalu
mensupportku. Yang selalu menyayangi aku tanpa memandang kekuranganku. Dan
untukmu mama, kaulah pahlawanku, tanpamu dan ayah aku tak mungkin terlahir ke
dunia ini. Karena ketabahan dan kegigihanmulah aku mampu seperti ini. Maafkan
semua kesalahanku ma, aku janji akan membahagiakan mama, meski ku tau apapun
yang ku lakukan tuk membahagiakanmu takkan pernah bisa membalas pengorbananmu
untukku. Pelangi cintamu kan selalu membentang indah di cakrawala menemaniku
menapaki hidup.
*** Sebuah kisah yang kudedikasikan untukmu yang selalu ku cintai "MAMA"***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar