Melupakanmu


Sisa-sisa kepedihan cintamu masih melekat erat di jiwaku. Meskipun sudah beberapa hari hujan mengguyur kota tercinta ini, ia tetap saja belum bisa membersihkan seutuhnya lukaku. Ketika kucoba melupakan segalanya, kurasa menuliskannya di lembaran A4 adalah ide terbaik.
Senyummu, hal tersulit untuk di lupakan. Semakin aku memaksakan diri, semakin kuat pula ia mendekap relung batinku. Akhirnya kuputuskan tuk menikmati semua ini. Toh, menikmatinya membuatku sedikit lebih baik daripada menghindarinya terus-terusan.
Kata-kata terakhirmu saat itu, benar-benar membuatku terkejut. Aku terus memikirkannya, menunggu tanpa harap agar kau menjelaskannya. Aku tak pernah berhenti berharap, dan selalu meyakini hatiku mungkin kau sibuk saat ini, hingga tak sempat membaca pesan dariku.
Entah apa alasanmu, yang pasti hanya Tuhan dan dirimulah yang tau. Berhari-hari aku terus menanti jawabanmu, setiap detik, menit, bahkan jam aku terus menatap monitorku, berharap kau akan hadir dengan sebuah jawaban.
Sanpailah kesabaranku dititik terakhirnya. Aku mulai putus asa, aku mulai menyerah. Sugesti mimpi ynang begitu kuat tak lagi mampu menahanku. Kuputuskan tuk berhenti berharap, tak ada lagi keyakinan apapun tentangmu.
Melampiaskan segala kegelisahanku pada buku-buku, tetap saja bayangmu yang muncul. Tiba-tiba tersirat keinginan untuk mencari referensi agar sejenak kumampu melepas lelah dijiwaku.
Detik itu, tak jauh berbeda dari beberapa hari yang lalu saat kau menanyakan hal konyol iu padaku. Awalnya aku tak yakin, aku sangat terpukul. Karenanya aku tampak seperti orang bodoh. Tahukah kau? Hatiku benar-benar sakit. Kini, aku tahu penyebab keruntuhan tembok ketegaranku.
Air mata ini, jatuh seperti rinai hujan diluar sana. Aku merasa lebih baik jika ditusuk dengan miliyaran jarum daripada harus menanti sebuah harapan palsu. Aku tak percaya pada topengmu yang selama ini kau sematkan, dan itulah yang membuatku kagum hingga harus masuk dalam perangkap kepalsuanmu.
Walaupun seluruh energiku sudah terkuras untuk menangisi kebodohanku, aku masih mampu mengutip puing-puing ketegaran yang hancur berantakan bersama cintamu. Dalam deraian isakan itu, kucoba menguatkan diriku agar bisa kembali bangkit.
Merenung, merenung, merenung dan terus merenung, hanya itu yang bisa kulakukan setelah membuktikan kebenaran. Kekuatanmu sangat berperan efektif memadamkan semua semangatku dan membuatku tak berdaya. Ingin sekali kuukir senyum tulus pada dua malaikatku, namun aku tak bisa. Hanya ada seulas senyum datar yang terpaksa.
Malam itu, kuungkapkan semua kepedihan pada-Nya yang setia mendengarkan. Dalam munajat panjang, kuberharap agar hatimu tergetar dan menyadari rasaku, aku hanya inginkan hal itu, dan tak pernah meminta agar kau membalasnya.
Ketika kekuatanku mulai kembali perlahan, kucoba membagikannya pada mereka yang menyayangiku. Mereka datang menguatkanku, membawa setitik api yang menyala dalam tumpukkan debu. Dengan langkah ragu-ragu, kudekati api itu, kusulutkan pada sebuah obor perlahan dengan tangan yang gemetar. Aku berhasil, aku bisa melakukannya dengan baik.
Inilah awal yang baru bagiku. Membuka lembaran kosong yang masih suci dan akan mengisinya dengan senyuman dan air mata bahagia. Tak lagi ada luka disini, hanya ada kebahagiaan.
Seluruh kepedihan ini mulai memudar seiring berlalunya waktu. Kini aku tahu, kita seperti matahari dan bulan, dekat namun takkan pernah bersatu, kecuali keajaibanlah yang melakukannya. Semua kenangan tentangmu, kujadikan album kelam yang menjejakkan kepahitan, dan akhirnya sebuah senyuman membuatnya menjadi manis, lebih manis dari madu.
Meskipun mencintaimu sangat menyakitkan, ini takkan membuatku trauma tuk kembali mencintai. Satuhal yang kupelajari dari kisah ini, aku hanya akan memberikan cinta terbaikku pada yang Maha Mencintai, pada mereka yang berjasa adadi, dan padanya yang dipilih tuk menemaniku hingga nanti kembali kepelukan-Nya.

Selesai di kamar tercinta ^_^
23/07/2013, 22.22 WIB
Zatul Omaira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar