Sebulan
lagi, aku genap berusia tujuhbelas tahun. Usia yang dinanti-nantikan semua
orang, usia yang mereka anggap waktu sempurna menuju ke kedewasaan. Angka yang
menunjukkan keberuntungan dan kebahagiaan. Sedangkan aku, aku masih belum
menyimpulkan apapun di tujuhbelas tahunku. Aku berharap semoga scenario indah
akan Dijentikkan Illahi untukku dan semoga aku dapat melupakanmu dan kenangan
kita.
Kamu
bukanlah sosok yang menarik pada awalnya. Perjalanan waktu yang mengantarkanku
pada pertemuan kita. Waktu yang senantiasa membuatku memikirkanmu hingga pada
akhirnya aku menyimpan rasa padamu. Rasa yang awalnya manis menjadi pahit
karena pengabaianmu setelah berkas harapan itu sirna.
Aku
tak mengerti bagaimana rantai takdir mempertemukan kita. Seperti apa akhir dari
scenario Illahi akan kisah hidup kita. Mungkinkah kita dipersatukan atau akan ada
kebahagiaan lain yang memisahkan kita?
Ini
adalah minggu ke tigabelas sejak percakapan terakhir kita. Setelah kalimat aneh
itu terlontar begitu saja dari bibirmu, setelah kamu meninggalkan kebingungan yang
luar biasa pada diriku, setelah pengabaianmu yang sejatinya tanpa kau sadari.
Ya.
Tigabelas minggu yang lalu, kamu seolah menghembuskan angin yang seketika
memekarkan kuncup-kuncup aster dihatiku. Namun, seketika itu juga perlahan kau
hembuskan badai yang memporak-porandakan hatiku. Kamu mengabaikan aku. Kamu
seolah menghilang padahal kamu ada. Kamu bersikap seakan tak terjadi apa-apa
diantara kita. Kamu membuat segalanya berubah dari fakta yang kita dan Illahi
ketahui.
Kamu
tak pernah tahu seberapa besarnya perjuanganku menyimpan daya untuk menanti
penjelasan darimu. Namun, tigabelas minggu adalah waktu yang cukup untuk
menyadarkanku bahwa aku ini bodoh. Memberitahuku bahwa aku sosok yang ringan
dipermainkan. Sikap skeptis dan temperamentalkulah yang membuatmu mudah
meluluhkan hati ini.
Masih
terngiang jelas kekhasan suaramu, selera humormu yang nyaris membuatku pingsan
tertawa. Kegombalanmu yang mampu mengalahkan raja gombal terkenal, aku masih
mengingat jelas semuanya. Wajahmu yang memerah saat kau dipermalukan oleh
teman-temanmu dan tingkahmu yang tak karuan itu. Iya, semua masih terekam jelas
dalam memoriku.
Saat
ini, ada sesuatu yang mendesak kalbuku. Nuraniku perih, jiwaku hampa, dan
ragaku lemah tak terkulai. Dingin menyusup tulang hingga ulu hatiku. Tetesan
yang sedari tadi menggantung dibulu mata panjangku terjatuh begitu saja.
Aku
rindu pertemuan pertama kita. Aku rindu kamu memanggil namaku tak seperti
seharusnya. Aku rindu senyummu yang kian menawan. Aku rindu percakapan hangat
kita (meski melalui jentikkan jari). Aku rindu menatap sinar matamu yang
(terbatas layar kaca) sangat mempesona. Aku rindu caramu menghiburku. Aku rindu
pada janji yang (sengaja) kau ucapkan untuk memotivasiku. Aku rindu semua
tentang kita. Aku rindu kamu yang tak mungkin merinduiku.
Ahhh
iya, sahabatku pernah berkata “Kamu merindukan seseorang, karena dia juga
merindukanmu”. Aku tak begitu meyakininya, tapi hati kecilku berbisik “semoga
kalimat itu benar adanya”. Ya, aku berharap kau juga merindukanku seperti aku
yang selalu merindukanmu. Aku selalu berdoa dan memohon agar kau mendoakanku
untuk melupakanmu. Jika aku terus mengingatmu, tak hanya aku yang terluka tapi
kau juga sakit akibat dari mitos alam yang terlalu alami (mungkin).
Ketika
teman-temanku dengan mudahnya memberitahu semesta nama orang yang
dirindukannya, sosok yang membuatnya jatuh cinta, aku cemburu. Aku iri pada
mereka, karena aku tak dapat melakukannya. Aku bukanlah sosok yang dengan
mudahnya bisa menceritakan segala sakitku pada dunia. Aku memilih menyimpannya
rapat-rapat dan berusaha terlihat baik-baik saja. Kadang, ketika tawaku terasa
begitu renyah, jauh di dalam lubuk hati, aku menangis, aku berteriak, aku
hancur.
Seharusnya
tigabelas minggu bisa menghentikanku dari harapku. Mengajakku kembali pada
kehidupan sebelum aku mengenalmu. Mengembalikan separuh jiwaku yang (sengaja) kau ambil diam-diam. Meluruskan
jalanku yang terlalu berkelok. Nyatanya, semua usaha dan sugesti yang kucamkan
pada diriku hanya angin yang berlalu. Aku belum mampu memenuhinya. Masih ada
magnit penolak dalam ragaku.
Kamu
tentu tahu lirik puisi Kahlil Gibran “Cinta yang Agung”. Puisi yang sangat
kukagumi jauh sebelum aku mengenalmu. Puisi yang menciptakan gejolak hebat saat
aku membacanya. Pemilihan diksi pada kalimatnya menghipnotis setiap pembaca. Aku
pernah membayangkan betapa sakitnya keadaan sang pujangga saat menuliskan puisi
ini. Aku berharap agar tak mengalami hal yang sama. Namun, Allah menunjukkan
kuasa-Nya, seperti puisi yang ku kagumi itu, seperti itu rantai takdirku berjalan,
namun akankah berlanjut????
“Cinta yang agung adalah ketika
kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya.. Adalah ketika dia tidak
mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia..”
Bait
itu cukup memotivasi keremukan hatiku. Aku akan tersenyum untukmu. Aku akan
bahagia untukmu, untukku dan untuk mereka yang mencintaiku. Jika suatu saat
nanti kamu tahu akan rasaku, jangan tertawa dan jangan pula menangis. Cukuplah
tersenyum karena sosok gadis sepertiku yang tak berhak mencintaimu pun ternyata
takluk padamu. Maafkan aku hanya mampu mencintaimu dalam diam. Jangan iba
padaku yang rela menahan sakit. Rela terlihat tegar padahal hancur demi masa
depan, demi harga diriku. Aku begini, karena bait terakhir puisi yang kukagumi
itu cukup membantuku…
“Orang terkuat bukan mereka yang
selalu menang, melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka terjatuh”.
Karena semua yang kita jalani dalam
hidup ini telah tertulis scriptnya di laugh
mahfudz kuharap akan ada akhir bahagia untuk kita. Meski tak bersama, yakin
dan percayalah Illahi telah menyiapkan sosok bidadari dan pangeran yang terbaik
untuk kita.
22.00/171013
Melepas
cengkraman rindu
Zatul
Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar