Secerah
mentari besinar di ufuk timur, seceria nyanyian camar di angkasa ku pandangi
wajah ayah yang mulai menua. Ia tak segagah dulu, pertahananan tubuhnya pun
telah melemah. Ayah memang belum berumur stengah abad, tapi sulitnya hidup
telah merenggut masa muda yang harusnya bisa ia nikmati.
“Fanya,
kenapa belum ke sekolah?”
“Sebentar
lagi yah, ini nasi goreng special untuk ayah hampir masak.”
“Sudahlah,
ayah bisa mengurusnya sendiri, kamu berangkat saja ke sekolah, nanti
terlambat.”
“Iya
ayah, sebentar lagi ya.”
Ayah, sosok yang begitu kucintai.
Ketika mereka lebih mencintai ibu daripada ayah, tapi aku berbeda. Bukan aku
tak menyayangi ibu, tapi aku tak pernah tahu bagaimana rasanya kasih sayang
seorang ibu. Ibu telah lama kembali pada-Nya, bahkan aku tak sempat melihat
wajahnya.
Tak lama lagi usiaku genap 17 tahun,
aku tak butuh kado yang indah. Aku hanya ingin merayakan usia dewasaku bersama
ayah. Tak perlu pesta yang meriah, hanya dengan menatap wajah ayah saja
membuatku sangat bahagia.
@@@
“Fanya,
kamu datang kan ke pesta ulang tahun Meri nanti malam?”, tanya Gia.
“Emm,
aku gak tau Gi, akan kuusahakan ya.”, jawabku.
“Yach,
sudah kutebak. Kamu gimana sih Fan, selalu saja tidak datang ke pesta ulang
tahun teman kita, kapan lagi mau menikmati masa muda??”
“Gia,
aku harus menemani ayah. Beliau sedang sakit!! Aku punya cara sendiri untuk
menikmati masa muda. Kamu sahabatku, harusnya kamu lebih mengerti aku dari
siapapun!!”
“Baiklah.
Kali ini aku tidak akan memaksa, tapi jika ke pesta ulang tahunku nanti kamu
tidak hadir, akan kubuat perhitungan, mengerti???”, jawab Gia setengah
mengancam.
“Iya,
aku ngerti kok!!”, ucapku sembari tersenyum.
Melintasi beberapa kilometer dengan
berjalan kaki bukanlah hal baru bagiku. Keterbasan ekonomi menuntutku tumbuh
mandiri. Aku tak pernah meminta banyak hal pada ayah, untuk menyekolahkanku
saja beliau harus pontang panting tanpa memikirkan kesehatannya. Untungnya
Allah menganugerahkan bakat seni dalam diriku, sehingga dengan mengolah
beberapa bahan bekas menjadi sesuatu yang menarik dan menjualnya di toko Kak
Caca membantuku menyimpan sedikit tabungan untuk masa depan.
Sepanjang jalan melewati pertokoan
elit, tampaklah sebuah sajadah berwarna biru muda dengan motif ka’bah dan
mesjid nan mewah membuat air mataku meleleh seketika. Beberapa waktu yang lalu,
saat ayah menjemputku dari sekolah, kami melewati jalan ini. Ayah berkata :
“Fan,
sajadah itu cantik ya? Andai ayah bisa memilikinya!!”
“Kenapa
ayah enggak beli aja? Tabungan kita cukup kok untuk membeli sajadah itu!”,
jawabku.
“Masa
depan kamu jauh lebih penting dari sajadah itu. Lupakan saja!!”
Sejak saat itu, aku menyimpan
keinginan besar untuk membelikan sajadah tersebut pada ayah. Beberapa hari
setelah perbincangan singkat itu, ku beranikan diri bertanya pada pemilik toko
harga sajadah itu. Sungguh di luar perkiraan, meskipun tampak simple harganya
terlalu tinggi, dan kini tabungan ku mulai mendekati harga sajadah itu. Aku
berharap semoga aku bisa membelikannya untuk ayah.
@@@
Hari ini Gia berulang tahun. Seperti
janjiku, aku akan datang ke pesta ulang tahunnya karena di adakan sore hari dan
di kafe yang dekat dengan rumahku. Melihat kesehatan ayah mulai membaik. Aku
berangkat ke pesta ulang tahun Gia.
Sebenarnya, saat pertama kali
melangkahkan kaki keluar dari rumah. Perasaanku tidak enak, hatiku gelisah,
rasanya berat sekali meninggalkan ayah sendirian. Aku ingin menemani ayah, tapi
karena telah terlanjur berjanji pada Gia, akupun pergi.
Ayah tersenyum sangat manis saat
melepas kepergianku. Aku tak pernah menyangka jika itu adalah senyum
terakhirnya. Pelukan semalam adalah pelukan terhangat yang takkan pernah
kurasakan lagi.
Kutepis kegelisahanku saat bertemu
dengan Gia. Ku coba memberikan senyum termanis dan terbahagiaku.
“Selamat
ulang tahun Gia, semoga umur yang ketujuhbelasnya berkah ya, dan sukses
selalu.”
“Terimakasih
Fanya, kamu memang sahabat terbaikku. Bagaimana keadaan ayahmu?”
“Alhamdulillah
beliau sudah sehat, jika tidak bagaimana aku bisa hadir di sini. Oh iya, ini
kado untukmu.” ucapku sambil menyodorkan bungkusan kecil berpita merah muda.
“Ahh
Fanya, kamu ini repot-repot aja. Makasih ya..”
“Sama-sama
sayang.”
Pesta ulang tahun Gia berjalan
dengan lancar. Gia tampak sangat bahagia dan aku juga sangat menikmati acara
hari itu. Perasaan gundahku hilang seketika, entah dimana ia bersembunyi.
Usai pesta berakhir,aku segera
berpamitan pada Gia. Aku menuju toko sajadah itu, melihat ia masih terpajang
hatiku berbunga-bunga. Setelah meminta sajadah itu di bungkus dengan rapi, aku
pun membayarnya. Penjaga toko itu begitu baik dan memberikan potongan harga
untukku.
Aku pulang dengan wajah bahagia.
Sepanjang jalan aku menyanyi dengan riangnya. Rasanya tak sabar untuk melihat
ekspresi ayah terkejut dan bahagia karena akhirnya memiliki sajadah yang
diimpikannya.
Beberapa meter lagi dari lorong
rumahku, ku dengar ada suara rebut. Terlihat kerumunan orang yang sepertinya
memenuhi halaman rumahku. Perasaan gundah itu kembali. Aku berlari sekuat
tenaga menerobos orang-orang yang berkumpul.
Hatiku remuk ketika melihat sesosok
tubuh terbaring di sudut rumah. Beberapa orang sedang membaca yassin. Aku
menghambur pada jasad itu. Ku buka kain yang menutupi wajahnya. Kukecup kening
itu. Wajah yang bercahaya seperti sedang tertidur. Kaku dan dingin yang
kurasakan di sampingnya. Tiba-tiba seseorang datang menghampiriku….
“Fanya,
sabar ya. Ayah memang sudah waktunya menepati janjinya pada Illahi.”
“Ta..tapi,
kenapa tidak menunggu Fanya berhasil kak?”, tanyaku sambil terisak.
“Fanya,
ini takdir Tuhan sayang. Kamu harus yakin bahwa ayah sudah bahagia sekarang.”
Aku tak bisa menjawab apapun. Aku
memeluk jasad ayah, lalu berkata :
“Ayah,
Fanya tau kalau ini adalah takdir Tuhan. Fanya juga ikhlas, tapi maafkan Fanya
karena tidak sempat membahagiakan ayah. Maafkan Fanya yang tak bisa menemani
detik-detik terakhir ayah. Ayah, Fanya membelikan sajadah ini untuk ayah. Ayah
menyukainya bukan?? Jawab Fanya yah, jawab…!!!”
“Fanya
sadar, ayah sudah tiada. Ikhlaskan ayah Fanya!!”, kak Caca memelukku erat.
Beberapa saat lamanya aku terpaku
menatap gundukan tanah merah itu. Memandangi sajadah biru yang kubelikan untuk
ayah. Kak Caca, Gia, dan orang tuanya hanya menatapku penuh iba.
Hidupku hancur. Kini aku tinggal
sendiri, hidup sebatang kara. Entah bagaimana caranya ku wujudkan mimpi yang
telah kurajut bersama ayah. Aku tak tahu. Hari semakin gelap, kak Caca dan Gia
membawaku pulang.
@@@
5 tahun kemudian……..
Ku letakkan buket bunga di samping
nisan itu. Kuusap perlahan papan yang bertuliskan nama seseorang yang sangat
kucintai. Dalam hati aku berkata “Ayah, Fanya sekarang sudah berhasil. Fanya
sudah menjadi bintang yang ayah mau, Fanya sudah menepati janji Fanya. Fanya
bahagia sekali, semoga ayah dan ibu juga bahagia di sana. Doakan Fanya ya…..”,
ucapku sambil tersenyum.
Tanpa ku ketahui, ternyata ayah
telah menyimpan seluruh perbendaharaannya untuk menjadikanku bintang yang
paling terang. Ayah sudah lama mengetahui penyakitnya, tapi beliau
menyembunyikan segalanya padaku. Ia tak ingin melihatku sedih, yang ia mau
hanya ada senyum yang selalu tersungging di bibirku.
Toko kak Caca ternyata milik ayah,
hanya saja ia sengaja membiarkan kak Caca mengelolanya tanpa sepengetahuanku.
Seluruh tabungan dan investasi dari toko-tokonya di simpan untuk asuransi
pendidikanku. Dan kak Caca, tentu pengelola yang baik.
Meskipun kini ayah dan ibu tak lagi
bersamaku, tapi mereka tetap tersimpan di hatiku__ selamanya. Aku akan selalu
menjadi bintang untuk ayah, untuk ibu, dan untuk mereka yang mencintaiku.
@@@@
_Sekilas Kesabaran_
Andai deraian airmata mampu berteriak
Melukiskan sajak kepedihan di hati
Menceritakan dukaku pada dunia
Mengumbar sayatan pilu di batinku
Ternodai lelehan cuka yang amat menggetarkan sukma
Benturan-benturan keras yang menyisakan
puing-puing kepalsuan
Menggadaikan jiwa yang retak, hancur tak
beraturan..
Gema rintihan seolah merembes ke setiap sudut
ruang waktu
Membasahi butir-butir molekul ketegaran yang
tengah bersemi
Membuatku mampu tuk bertahan
Meski El-Nino dan La Nina akan menghantamnya
Ku ukir seulas senyum pada ranting-ranting yang
berjatuhan
Ku biarkan bekas luka ini mengering, tuk menjadi
saksi kepergian mentari
Ketika rembulan datang menghiasi lukisan malam
Kan ku oleskan krim penyejuk hati
Tuk menembus teriknya sinar kehidupan
Dan ku abadikan setiap langkah
Dalam bingkai kenangan yang akan terpajang indah
di nisan usang
Sebagai saksi bisu hadirnya partikel-partikel
kesabaran dalam qalbu
(Puisi
pertama yang dibukukan dalam event Puisi Motivasi, buku "Bangkitlah Pejuang Mimpi", penerbit Rasibook)
Selesai
di kamar tercinta….
261013/13.31
Untuk
mereka yang terus berjuang tanpa lelah
Meskipun
sayap-sayapnya telah patah
Zatul
Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar