Jilbab Untuk Zahra


“Ma, kak Nia mana?” tanya Zahra pada mama yang sedang sibuk menyiapkan makan siang.

“Belum pulang, kenapa?”

“Enggak, aku mau minjem laptopnya sebentar, soalnya laptopku masih belum selesai diperbaiki.”

“Ohh, bentar lagi juga kakakmu pulang. Makan dulu sini…” ajak mama.

Zahra segera menyusul mama ke meja makan. “Hah, sayur lodeh lagi???” tukasnya dengan nada mengejek.

“Lagi apanya? Kan kemarin mama masak urap..” 

“Ma, pliss deh, masak yang elit-elit dikit kenapa? Aku bosan sama sayur lodeh..” Zahra berlalu ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras.

Mama hanya bisa mengurut dada, menyaksikan sikap skeptis putri bungsunya tercinta. Untung saja papa sedang dinas di luar kota, jika tidak pasti pisang goreng lima jari akan mendarat di pipinya.
*** 

“Assalamualaikum….” Ucapku.

“Waalaikumsalam.. Kok pulangnya telat?” tanya mama menyambut putri sulungnya.

“Maaf ma, tadi ada acara pengajian di rumah teman, hp Nia juga lowbat.  Zahra mana ma?” jelasku.

 “Di kamarnya, lagi ngambek..”

“Ngambek kenapa?”

“Kenapa lagi kalau bukan karena sayur lodeh, heran mama sama adikmu itu. Beda sekali denganmu…” jawab mama sekenanya. Pada saat yang sama, Zahra keluar dari kamarnya dan mendengar pembicaraanku dan mama.

“Aku sama kak Nia jelas beda donk ma, kak Nia itu kolot, kalo aku perfect, modern…” Ucap Zahra.

“Jaga mulutmu, kamu kira perilaku dan penampilanmu itu bagus, sudah seperti…”

 “Seperti apa? Seperti pelacur..!!!” jawab Zahra dengan wajah merah padam.

“Zahra!!! Kamu… kamu...” mama memegang jantungnya lalu jatuh tak sadarkan diri.

“Ma.. mama kenapa ma?” aku mulai panik. “Zahra, cepat telepon ambulan?”

“Buat apa kak? Paling juga pingsan karena capek cuap-cuap..” lalu ia pergi begitu saja.

“Zahra, kamu keterlaluan…!!!” kutahan amarahku. Segera kuhubungi ambulan, kupeluk tubuh mama erat-erat. Sungguh aku tak ingin kehilangannya.
*** 

1 bulan kemudian…

“Zahra...” panggilku

Ia tak bergeming. Hanya air mata yang terus saja membanjiri wajahnya. 

“Zahra… makan dulu ya, kakak masak sayur lodeh untuk kamu…” ucapku lagi.

Ia berpaling ke arahku. Menatap baki makanan yang kubawa itu dengan nanar. “Aku gak mau, aku cuma mau makan masakan mama, aku mau makan kalau mama yang nyuapin…” ia menghempas baki makanan itu hingga jatuh berserakan di lantai.

Aku terkejut melihat tingkahnya. “Zahra!!! Kalau kamu mau mama yang nyuapi kamu, kenapa dulu kamu bunuh mama, mama pergi gara-gara kamu…” jawabku emosi. Ia tak mengubris perkataanku. Tiba-tiba, ia memukuli dirinya sendiri, menjambak rambutnya, bahkan nyaris menusuk jantungnya. Untung saja aku segera melempar gunting itu.

Aku dan ayah berusaha menenangkannya, lalu segera membawanya ke rumah sakit. Zahra harus dirawat intensif karena kondisi psikisnya sangatlah buru. Aku hanya bisa menangis, meratapi kehancuran keluarga kami setelah kepergian mama.
***

6 bulan kemudian…

“Selamat hari jadi ya adikku, semoga Allah selalu memberkahimu..” ucapku sambil memberikan sebuah kado padanya.

“Terima kasih ya kak…” jawabnya dengan air mata yang mengalir.
“Selamat hari jadi ya nak, ini untukmu…” ucap ayah yang juga memberinya kado, dua buah kado lebih tepatnya.

“Kok dua yah?” tanya Zahra bingung.

“Ini, dari almarhumah mamamu..” jawab ayah sambil menunjuk kado berwarna merah muda.
Zahra segera membuka kado itu. Sebuah jilbab berwarna biru dipadu bordiran bunga berwarna pink. Ia menangis, memeluk erat jilbab itu. 

Lalu ayah memeluk kami, suasana semakin sendu ketika kerinduan pada pelukan mama kian merebak.
*** 

“Ma.. hari ini hari pertama Zahra memakai jilbab, ini jilbab pemberian mama. Maafkan Zahra, ma. Karena Zahra, mama pergi secepat ini… Zahra janji akan menjadi muslimah sejati seperti kak Nia. Tolong maafkan Zahra, ma… Ya Allah ampuni segala dosa mama dan dosaku… ” lirihnya dalam tangis sambil memeluk nisan mama.

“Mama sudah memaafkanmu, dik. Jangan menangis lagi. Percayalah, bahwa ada hikmah dibalik semua cobaan ini. Allah sedang menguji keimanan kita.” gumamku mencoba menenangkannya.
Ia menyeka air matanya, lalu tersenyum pada pusara mama. Kami pun kembali ke rumah. Melihat senyum yang terukir di bibirnya. Aku percaya bahwa Zahra akan tumbuh menjadi sosok muslimah yang tangguh. 

Selesai…
 130514 | My sweet Room…
Zatul Omaira

Masih Adakah Esok Untukku?

3 hari sebelumnya…

Senjaku telah merona di ufuk barat. Semesta tersenyum, seindah rona jingga yang membalut cakrawala. Dedaunan padi menari molek, mengikuti deru angin.

“Icha, masuk yuk??” ajak Gita, sahabatku semenjak TK dulu.

“Sebentar lagi ya Ta, senjanya udah nanggung nih?” jawabku sembari tersenyum padanya.

“Baiklah. Oh ya Cha, menurut kamu hal apa yang membuat senja begitu berarti untukmu?” tanyanya.

“Entahlah Git, aku merasa senja memiliki sesuatu yang tak di miliki yang lain. Jingga, penuh kedamaian.” Jawabku sambil terus menatap senjaku.

Gita menarik napas panjang. Pandangannya mengarah ke seluruh sudut alam, seolah mencari titik kelemahan senja.

“Kamu benar Cha, senja terlalu sempurna untuk mendengar keluh kesah. Senja punya cara untuk menghapus duka. Meski kadang ia juga terluka saat menanti fajar yang tak kunjung bisa dipeluknya.” Jawabnya pasrah.

“Entahlah, tapi rencana Allah jauh lebih baik.” jawabku mengakhiri percakapan kami karena adzan telah berkumandang. 

“Iya Cha, yuk shalat.” Ajak Gita sambil membantuku berjalan.
***

Selama seminggu ini aku telah menghabiskan waktu bersama Gita di villanya yang terletak di kawasan Puncak. Memandangi hamparan hijau kebun teh di pagi hari, juga menyaksikan keindahan senja kala petang menjemput telah membantu kesembuhanku. Meskipun aku tak yakin akan benar-benar sembuh, mungkin saja perjalanan hidupku akan sesingkat bayangku.

Kuhamparkan pandangan ke seluruh ruangan. Dinding ini sangat kokoh, sedang aku amat rapuh. Air mataku meluruh, membasuh pipiku yang kini mulai tirus. Aku kembali menangisi sosok yang bahkan enggan menatapku. Kembali terbayang senja terakhir yang mat menyakitkan bersamanya.

“Cha, kamu kenapa?” tanya laki-laki itu ketika kami duduk di taman. Sepertinya ia menyadari tatapanku yang tak berkedip memandangi wajahnya.

“Oh.. aku gapapa kok bang..” jawabku menyembunyikan rona malu yang tersirat di wajahku.

“Cha, kamu pernah jatuh cinta?” tanyanya dengan tarikan napas berat sambil terus menatap langit yang membiru indah.

Aku sangat terkejut mendengar pernyataannya. Ingin rasanya kuungkap perasaanku padanya. Tapi aku tak mampu. “Kenapa bang?” jawabku. Jawaban yang tak seharusnya kuberikan.

“Karena abang merasa seperti sedang merasakannya..” jawabnya dengan napas berat.

“Benarkah? Siapa gadis itu?” tanyaku penasaran. Harapanku telah bersiap menanti.

“Dia teman abang di kampus, Abang tak bisa memberitahukan detailnya sekarang. Karena abang juga belum yakin?” jawabnya lagi.

“Belum yakin? Maksudnya?” tanyaku lagi. Aku menyembunyikan kekecewaanku di sudut hati.

“Iya, sepertinya dia sudah memiliki orang lain. Kamu tahu Cha, hati abang sangat sakit karena tak bisa mengungkapkan rasa ini padanya.” Jelas pria itu, lalu membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangannya.

“Yang sabar ya bang…” ucapku sambil memukul pundaknya. Dalam hati aku menangis. Pedih sekali, rasanya ragaku seperti dihantam ribuan ton besi. Tapi, air mataku tak menetes, entah bagaimana aku bisa begitu tegar saat itu.

Pertemuan tak terduga setahun lalu telah merubah seluruh hidupku. Aku jatuh cinta padanya. Ya, cinta pada pandangan pertama. Aku adalah sosok yang aku tak pernah percaya pada kalimat itu; dulu. Nyatanya, kini dirikulah yang mengalami hal itu. Meski logikaku menolaknya berkali-kali.

Andai ia tahu, jika aku juga terluka. Andai ia mengerti bahwa lukaku lebih parah dari lukanya. Mungkin aka nada rasa iba yang hadir di benaknya, meski kutahu ia tak pernah bisa mencintaiku.

Setelah peristiwa menyakitkan di taman sore itu, aku berusaha untuk melupakannya. menghindari pertemuan dengannya, hingga menjauh darinya dengan berlibur ke Puncak bersama sahabatku, meski kini kondisiku dapat dikatakan sangat buruk. 

Sejak hari itu, aku sadar bahwa diriku terlalu naïf. Mencintai hamba-Nya lebih besar dari cintaku untuk sang Khalik. Aku tahu bahwa sandaran cinta terbaik adalah pada-Nya. Tak ada kata kecewa, tak ada sesal, tak ada perih, bahkan luka.
*** 

Hari H…

“Cha, kamu kenapa?” tanya Gita panik melihat darah terus menetes dari hidungku.

“A.. aku gak papa, Git. Tolong ambilkan tissue..” jawabku padanya.

“Gapapa gimana? Kita harus ke rumah sakit, ayo!!” jawab Gita sambil memapahku menuju mobilnya.

Aku semakin lemah. Dalam perjalanan, hanya isak tangis dan dzikir yang terlantun dari bibir sahabatku itu.

Sesaat kemudian kami sampai di rumah sakit, dokter segera meanganiku. Aku bisa melihat gurat keputusasaan di wajah mereka. Aku masih bisa mendengar apa yang mereka sampaikan pada keluargaku, pada sosok yang kucintai, yang ternyata juga hadir di sini. 

Tiba-tiba, sebongkah cahaya terang menyilaukan pandanganku. Aku tidak bisa melihat apapun, di saat yang sama tubuhku semakin ringan. Perlahan, suara riuh keluarga dan sahabatku tak lagi terdengar. Aku pergi menemui cinta sejatiku.
***

Andai masih ada esok untukku, ingin kuungkap semua rasa padanya. Aku tak ingin memendam luka ini lebih dalam. Meski perjalanan cintaku amat tragis, aku tak pernah menyesalinya, bahkan hingga aku mati. Karena sebaik-baiknya rencana manusia, kehendak Allah jauh lebih baik.

Mengais asa di jalan cinta-Nya…
Zatul Omaira

Antologiku : Senandung Cinta Untuk Ibunda 2 #LatePos

Telah Terbit !Judul Buku : Senandung Cinta untuk Ibunda#2
(Antologi Puisi)Penulis : Asmaida Lubis , Fathor Rozi, Jaraway Al-Fajr, dkk.
Terbit : Februari, 2014
ISBN : 978-602-1363-01-0Uk. 
Buku : 14 x 21 cmJumlah Hal : 170 Hlm
Harga Buku : Rp. 51.000 ( Untuk tim penulis Rp. 46.000)- 
Order > 2 buku dapat potongan harga lebih
Pemesanan : via inbox penerbit Asrifa, via sms 085624070744, pin BBM 75AC2BB9

TentangBuku :Senandung Cinta untuk Ibunda adalah buku antologi puisi dari para peserta terpilih event menulis"Senandung Cinta untuk Ibunda".

Cinta teruntuk ibunda, meski tak seutuhnya bisa dilukiskan dengan kata-kata, karenaq jasa, pengorbanan dan kasih yang tiadatara. Namun dalam deretan aksara dalam buku ini, senandung cinta ada untukmu wahai ibunda.[Wien, penulis, Bandung]

Senandung Cinta untuk Ibunda, sejatinya bukanlah sekedar goresan kata-kata. Ia adalah prasasti yang dipahat atas nama cinta dan rindu. Sebab itu, ia akan mengabadi melintasi usia zaman. Senandung Cinta untuk Ibunda, sebuah persembahan sederhana untuk sosok yang tak pernah cukup kata untuk menceritakannya. Senandung Cinta untukIbunda, sebuah ungkapan cinta yang sayang untuk dilewatkan! Selamat kepada para penulis. Semoga setiap amal dan kebaikan yang ada dalambuku ini, sekecil apapun itu, pahalanya juga mengalir untuk Ibu yang telah melahirkan sosok-sosok dalam buku ini![Syarif Husni, Cerpenis dan Ketua FLP Mataram, NTB]

Tim Penulis :Siti Yusminah Saputra, Putut Dwi Wijaya, Hajar Al-Aswad, Aidah Lembayung Senja, Justang, Risda Guntari, Yara Purnama, Anisa Sholihat, Syarifah Thalib, Alif Rofik Annaba, Fatna Harista, Asep Awaludin, Hanik Maftuha, Budianto S, Istiana Manek,NurhikmahHakiki, Mustamir Khafid, Norhayati A. Azim, Ahmad Ardian, Aslan Saputra, Aita Fairuz, Obi Samhudi,Ismala Astari, Reni Nila Sari, Avida, Barep Pangestu, Shofiyah Qonitat, Aida Fiteri, Bella Cindy, Lifania Riski Nugrahani, Nuryani, FakhrunNisa, Noor Arifa’atin Ni’mah, Ummi Fadlah, Astiwi Safitri, Hajirratul Qud Siyah, Ridwan Hasyimi, AF Raziqi, Intan Agustiyani, Wiwied Kinasih, Ghozian Hafizzudin, Anria Marini, Dirta Hidayat, Abi Aufaa, M. Verdiansyah, Setya Putri Rosyadi, Ulin Nuhayati, Nailil Maghfiroh, Andrian Eka Saputra, Umi Rahmadania Hasanah, Al Hikha Hasan, Siti Sari Nur'Indah, Rurrin Permatta Sarii, Candra Irawan, Arind Reza, Asri Aprianti, Tri Prabowo Leksono, Nur Khakiki, Ummul Khair Ahmaya, Nurul Hidayati, Zainullah Ibnu Sabuha, Siti Rabiah Al-Adawiyah,Novy Noorhayati Syahfida, Moulidya Anggianie, Ain Saga, Rizky Fahlevi, Usthur Raa'id, Eka Novirna, Widiana Puji Astuti, Shofiyah Fu’adah, Yuni Puji Rahmawati, Jayadi Oemar Bakrie, Daviatul Umam El-s, Rusdi El Umar, Maufiroh Nur Hidayah, LinaMihrunnisa El-Tahshil, Nova Santana, Rijalun Nidhom, Wiki Kridayanti, ShafiyyahAl Lathif, I Wayan Juniartawan, Asnur Pribadi, Riniwati, Resti Lustiani, Rivi Ririz, Putu Sandra Iswaramba, Dian Thrie Wulandari Effendy, Tri Adnan, Dzakia Rifqi Amalia, Isroni Muhammad Zulfa, Haniyah, Rosiana Febriyanti, Ijus Al-bidayah, Alfin Nasharuddin, Igha Melysa Putri, Nadya Irene Putri, Dita Arisca, Izza Hasna Syarifa,Imas Hanifah Nurhasanah, Nalu Razka, Fadila Azma, Zatul Omaira.

Jalan Biru


“Qila, udah donk main hujannya, yuk pulang!!” ajaknya.

“Bentar lagi Fa, aku ingin mengenang jalan biru ini, sebelum aku pergi dan mungkin tak kembali…” jawabku sambil terus menahan rintik hujan yang telah membasahi tubuhku.

“Pergi? Maksud kamu apa?” tanyanya sambil menghampiriku.
Aku berhenti menikmati sentuhan lembut sang hujan. Kami berdiri berhadapan, saling menatap seakan mencoba merasuki jiwa masing-masing. Kuarahkan pandanganku mengintari seluruh taman, kutarik napas dalam-dalam untuk memberi sebuah jawaban yang tak pernah ingin kuucapkan (juga kulakukan).

“Aku akan pergi jauh, Fa. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita. .” jawabku menahan air mata.

“Pergi jauh? Kamu mau kemana Qil?” tanyanya geram.

“Aku akan pindah ke Amerika, besok…” jelasku dengan air mata yang kini telah menyatu dengan air hujan.

“Apa?? Tega kamu, Qila!! Kamu berjanji akan selalu bersamaku, kamu berjanji akan menjadi bidadariku, lantas mengapa kini kamu pergi? Munafik kamu…!!” teriaknya, lalu pergi meninggalkanku dalam derasnya rinai hujan.

Aku tak mampu lagi berkata-kata. Lidahku kelu, hatiku hancur. Sungguh aku tak ingin menyakitinya, mengkhianatinya, bahkan meninggalkannya. Kuserahkan semua pada Illahi.

***
Sepuluh tahun yang lalu…

Kenangan menyakitkan kuukir di sini, di jalan biru. Sebuah jalan yang menjadi saksi bisu persahabatan kami, jalan yang juga menyaksikan bagaimana tragisnya kuhancurkan tembok persahaban yang susah payah kubangun.

Tidak banyak perubahan yang berarti pada jalan ini, masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu, hanya saja udaranya terasa lebih sejuk. Karena pepohonan yang dulu masih mungil, kini telah rindang, daunnya yang rimbun berhasil membuat sinar mentari sulit menembusnya.

Rintik hujan perlahan jatuh. Butir-butirnya membasahi diriku. Aku merindukan Alfa, rindu saat-saat indah bersamanya. Aku ingin menikmati derasan hujan bersamanya.

Namun, sejak aku kembali ke tanah air, aku belum pernah bertemu dengannya. Aku tak tahu bagaimana parasnya saat ini, mungkin sangat tampan. Sejak hari itu, tali persahabatan kami putus sudah. Ia hilang bersama amarah dan kebencian padaku. 

Air mataku menguncur deras seiring derasnya rinai hujan. Entah apa yang kutangisi, entah kemunafikanku, atau karena diriku tak lagi mampu menahan rindu padanya.

Aku merasa jika semakin lama berada di sini, kepahitan akan terus membekapku. Aku takut kehilangan akal, lalu bertindak yang tak wajar. Kuputuskan untuk segera kembali ke rumah, kuhapus air mataku, berusaha tampil seprima mungkin.

Baru beberapa langkah aku beranjak, tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku.
“Aqila Zahrina Putri……” panggilnya, lebih tepat teriaknya.

Aku tersentak mendengar panggilan itu, langkahku terhenti. Aku masih diam di tempatku, memeriksa  sebuah suara asing memanggil namaku. “Siapakah dia?” batinku.

“Aqila Zahrina Putri…” teriaknya lagi.

Aku menoleh pada sumber suara itu. Sosok pria bertubuh tinggi, mata cipit khas Arab, dengan kulit putih bersih. Ia tersenyum padaku, namun aku menatapnya tajam, masih bergolak dengan batinku karena merasa tak mengenalnya.

Ia berjalan ke arahku, lalu berdiri tepat di hadapanku dengan jarak sekitar enam puluh senti. Aku sempat menatap bola matanya (aku merasa mengenalnya), lalu segera kutundukkan pandanganku. “Ka.. kamu siapa?” tanyaku terbata-bata.

“Kamu tak mengenalku? Kamu lupa padaku?” tanyanya lagi. dengan nada punuh selidik.

“Ka.. kamu siapa? Bagaimana bisa aku mengenalmu, jika kamu tidak memperkenalkan dirimu!” jawabku tegas dan sedikit kesal karena merasa dipermainkan.

“Aku Alfa, Muhammad Alfa Ghifari, sahabatmu yang kamu tinggalkan begitu saja..” jelasnya dengan sedikit terisak.

Aku mengangkat wajahku, menatapnya tak percaya. Aku menatap bola mata itu, hingga kutemukan sinar amarah yang kulukis sepuluh tahun yang lalu. “Kamukah itu? Alfaku?” gumamku dalam hati.

“Maafkan aku Fa, aku telah menyakitimu. Jika kamu membenciku, aku ikhlas…” jawabku terisak-isak, tak lagi sanggup membendung perihku.

“Tidak Qil, kamulah yang seharusnya maafkan aku. Aku tidak pernah membencimu, aku hanya kecewa karena kamu terlambat memberitahuku…” balasnya.

“Maafkan aku Fa, aku cuma tak ingin menyakitimu…” jawabku pedih.

“Aku mencintaimu Qila, sejak sepuluh tahun yang lalu, sebelum kamu pergi…” ucapnya begitu saja.
Aku terdiam, waktu seakan terhenti saat kalimat itu terucap. “A..aku..aku juga mencintaimu Fa...” jawabku dengan lidah yang seakan bertulang.

***

Hujanku kini berbeda. Dulu aku hanya menikmati dinginnya seorang diri. Kini, pangeranku telah tiba, ia selalu sigap memelukku ketika dingin menusuk hingga ke ulu hati. Jalan biru telah menjadi saksi perjalanan cintaku.

Dekapan hangat cinta-Nya telah menumbuhkan ketegaran dalam kerapuhan, hingga Dia satukan kami dalam genggaman takdir-Nya.

Selesai… | 060514
 Bersama deru hujan…
Zatul Omaira