“Bu
guru, bu guru...”
“Iya
Nisa, ada apa?”, tanyaku sembari berlutut pada gadis mungil itu.
“Kasih
bu guru, Kasih memukul Pinka ...”, jelasnya dengan napas terengah-engah.
“Astagfirullah,
dimana mereka sekarang?”
“Di
taman bu guru. Ayo ikut aku!”, Nisa menarik tanganku yang membuatku hampir
terpelanting karena tak sigap.
Saat
tiba di taman, aku melihat Pinka menangis sambil memegang kepalanya yang
berdarah. Sedang Kasih hanya diam membatu menatap kasihan pada Pinka. Segera
kuhampiri dua gadis kecil itu.
“Ya
ampun Pinka, kenapa bisa berdarah gini?”, tanyaku sambil berusaha menutup luka
tersebut agar darahnya tak mengucur deras.
“Aku
gatau bu guru, tiba-tiba Kasih memukulku dengan penggaris saat aku mengajaknya
bermain bersama...”, ucapnya sambil terus menangis.
“Ya
sudah, ayo kita ke rumah sakit. Darahmu banyak sekali yang keluar.”
Lalu
aku segera membawa Pinka ke rumah sakit bersama dengan Pak Ardi, guru olahraga
di sekolah dasar tersebut. Untunglah lukanya tak parah. Karena luka tersebut di
kepala, maka banyak darah yang mengalir meskipun lukanya tak dalam. Setelah
mengantar Pinka ke rumahnya dan menjelaskan kronologi singkat peristiwa naas
tersebut, aku kembali ke sekolah. Sungguh hari yang melelahkan.
***
Malam
kian beranjak larut. Aku masih belum bisa memejamkan mata. Perasaan gelisah
terus menghantui. Entah mengapa aku merasa takut menghadapi wali dari siswaku.
Sedih saja rasanya bila besok mereka menghujatku, mengatakan tidak becus. “Ayo
Lan, jangan seudzan dulu. Tetap tenang, hadapi dengan senyuman. Allah
bersamamu..”, bisik batinku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan
mataku sembari bersugesti untuk tetap tenang dan tidur nyenyak dalam hatiku.
“Maaf
bu Bulan, orang tua Pinka dan Kasih sudah datang. Mereka sedang menunggu di
kantor..”
“Baik
bu, saya akan segera ke sana. Saya titip kelas ya bu...”, ucapku pada bu Ana.
“Iya
bu...”
“Terima
kasih bu..”
Aku
segera menuju ke kantor. Hatiku gelisah tak menetu. “Tenang Bulang, tenang...!
Kamu pasti bisa. Semangaaaattttt!!!!”, batinku menjerit.
Aku
menarik napas dalam-dalam. Setelah merasa sedikit tenang. Aku pun memasuki
kantor sembari mengucapkan salam,
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam...”,
jawab mereka.
“Maaf
ibu dan bapak sudah menunggu lama, tadi saya sedang mengajar di kelas.”,
jawabku tenang.
“Tidak
masalah bu.”, jawab ibu Pinka sambil tersenyum. “Jadi, begini bu. Saya ingin
menanyakan, mengapa Kasih memukul kepala Pinka hingga berdarah?”
Jantungku
kembali berdegup kencang. Bagaimana caranya menjelaskan, sedangjan aku sendiri
tak melihat langsung saat peristiwa itu terjadi. “Jadi begini bu, kajadiannya
terjadi saat jam istirahat. Pada saat itu saya sedang di kantor, jadi saya
tidak melihat langsung bagaimana kronologi kejadiannya. Saya tahu, setelah
seorang murid memberitahu saya bahwa Pinka kepalanya berdarah karena dipukul
Kasih. Ketika saya bertanya pada Pinka, ia mengatakan bahwa ia hanya mengajak
Kasih untuk bermain bersama, namun kasih malah memukulnya dengan penggaris.”,
jelasku berhati-hati.
“Sebenarnya
begini bu, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Ibu, karena
anak saya sudah melukai anak Ibu.”, ayah Kasih membuka suara.
“Iya
Pak, tidak masalah. Tapi, saya ingin tahu mengapa Kasih begitu?”, tanya Ibu
Pinka.
“Begini
bu, banyak orang yang mengira Kasih abnormal dan sebagian lagi mengatakan Kasih
Autis.
Tapi, setelah saya mengecek ke dokter, kondisi Kasih sangat normal.
Namun, ia kekurangan kasih sayang seorang ibu. Maklum, dari kesil tak pernah
merasakan kasih sayang dari ibunya.”
“Maaf
pak, memangnya ibunya Kasih kemana?”, tanyaku penasaran.
Ayah
Kasih tak langsung menjawab. Ia terdiam beberapa saat, membuatku salah tingkah. “Mama
Kasih meninggal ketika ia melihirkan Kasih. Maka sejak saat itu, kasih dirawat
oleh neneknya. Tapi, betapapun besar kasih sayang seorang nenek tetap tidak
bisa menggantikan kasih sayang seorang Ibu. Awalnya kasih tumbuh seperti anak
normal, namun lama-kelamaan semenjak ia tumbuh besar, ia sering bertanya kemana
ibunya. Mengapa teman-temannya punya ibu, sedangkan ia tidak memilikinya. Saya
dan neneknya menjelaskan secara perlahan, namun Kasih tidak bisa menerimanya.
Hingga sejak saat itu, ia memilih menyendiri. Kondisi psikisnya menjadi labil.
Maka tidak jarang, jika ada anak-anak yang mendekatinya ia akan marah, karena
ia cemburu pada teman-temannya yang memiliki orang tua lengkap.”, jelas ayah
Kasih dengan mata sembab.
Hatiku
terenyuh mendengar penderitaan Kasih. Sungguh malang nasibnya. “Maafkan saya
Pak, karena selama ini saya tidak tahu kondisi Kasih. Jujur saja, saya pernah
beberapa kali mencoba mendekatinya, tapi itu membuatnya marah. Sehingga saya
memilih untuk membiarkannya.”, jawabku merasa bersalah.
“Tidak
apa-apa bu. Kasih memang sudah seperti itu. Jadi, bagaimana bu Rina? Bagaimana
kondisi Pinka?”, tanya ayah Kasih pada bu Rina, Ibunya Pinka.
“Pinka
sudah baik-baik saja, Pak. Saya rasa masalah ini tidak perlu diperpanjang lagi.
Saya sangat mengerti kondisi Kasih.”, jawab bu Rina.
“Terima
kasih bu..”
***
Bulan
purnama mengambang indah di langit. Mataku tak berkedip memandangnya. Meski
angin malam kian menusuk tulang, aku enggan beranjak meninggalkan beranda
rumah.
“Bulan...”,
suara lembut ibu memanggilku.
Aku
menoleh melihatnya yang berjalan ke arahku, “Iya bu...”
“Kenapa
masih di luar? Ayo masuk, angin malam tak bagus untuk kesehatan.”, ucap ibu
sembari membelai rambutku.
“Bulan
sedang memandang purnama di langit itu bu. Indah sekali...”
“Ya,
purnama memang selalu indah. Maka ibu memanggilmu Bulan, agar kelak kau menjadi
seseorang yang dapat mendamaikan dalam kegelapan..”
Jawaban
ibu membuatku menitikkan air mata. Aku kembali mengingat kisah Kasih yang
malang. Aku memeluk ibu erat, membuatnya kebingungan. “Bu, terima kasih telah
menjadi ibu untuk Bulan. Terima kasih telah membesarkan dan menjaga Bulan,
hingga Bulan tumbuh seperti ini.”, ucapku sambil terisak.
“Ibu
yang seharusnya berterima kasih karena Tuhan telah mengirimkanmu untuk Ibu.
Bulan, ibu hanya ingin kamu menjaga kepercayaan ibu nak, tumbuh sehat terus,
dan jadilah wanita yang membawa kedamaian bagi siapapun yang bersamamu. Jadilah
Bulan yang indah sperti purnama di langit nak.”, lirih ibu sambil mempererat
pelukannya.
“Bulan
janji bu, Bulan akan mengamalkan amanah ibu. Terima kasih bu, Bulan sayang Ibu.
Semoga Allah menyediakan singgasana yang indah untuk Ibu di Jannah-Nya kelak,
aamiin...”
“Semoga
kamu pula mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, nak..”
Yaa Rabbi, terima kasih telah
memberiku ibu seperti dirinya. Aku tahu, seberapa banyakpun aku berkorban
untuknya, takkan pernah bisa kubalas jasanya. Yaa Allah, hanya satu pintaku,
sayangilah ibuku seperti ia menyayangiku, sehatkanlah jiwa dan raganya, berilah
keberkahan pada umurnya. Limpahkanlah rahmat dan kasihmu pada ayah dan ibuku,
pada seluruh keluargaku, dan kepada semua saudara-saudara muslim di muka bumi
ini (Aamiin yaa rabbal’alamiin).
25014, My sweet room...
Sehat selalu mamak dan ayah...
Zatul Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar