Untuk Janjimu


Hari ini langit begitu cerah, surya nampak begitu bersemangat menyinari semesta. Sama seperti hatiku,  yang sedang dirundung bahagia karena kata-kata itu. Seolah musim semi di mulai, cherry blossom bermekaran begitu indahnya. Seyumku tak hentinya mengembang, semua mata yang melihatku merasa sangat aneh.
“Nasya, dari tadi senyum terus. Hayoo ada apa?” goda Ririn membuat pipiku semerah apel.
“Ah kamu Rin, nggak ada apa-apa kok?” Jawabku sekenanya.
“Gak ada apa-apa kok senyam-senyum terus dari tadi. Jangan bilang kamu... hahaha !!”  Ledeknya.
“Wah, Kamu kebangetan Rin, ngatain aku gila?” Sahutku dengan wajah cemberut.
“Hahaha.. kamu sendiri yang mengatakannya. Aku kan gak bilang.” Balas Ririn.
Tet.. tet.. tet… !! Bel masuk berbunyi. Aku dan Ririn segera berlari ke kelas. Masih sama, aku tetap saja senyum-senyum sendiri tanpa alasan yang jelas ketika teman-teman menggodaku. Tak lama kemudian Pak Wawan guru matematika yang juga wali kelasku  masuk, dan memberikan kabar yang seketika menghapus senyumku.
“Anak-anak, ada sesuatu yang ingin Bapak sampaikan, Bapak harap kalian semua mendengarkannya dengan baik.” Jelas Pak Wawan.
“Iya Pak.” Jawab kami serentak.
“ Salah seorang teman kita Aditya Prawinata mengalami kecelakaan saat menuju ke sekolah tadi pagi. Saat ini, Adit masih koma. Jadi, Bapak harap agar kita semua mendoakan Adit ssupaya segera sadar.” Jelas Pak Wawan panjang lebar.
Saat itu juga, aku merasa dunia seakan berhenti berputar, mataku kabur dan selanjutnya semuanya hitam, kelam.
Kubuka perlahan-lahan mata ini. Rasanya berat sekali, seperti air bah, butiran bening itu mengalir deras di wajahku. Ku perhatikan sekelilingku, ternyata aku dikamarku.
“Rin, kenapa aku disini?” tanyaku pada Ririn.
“Tadi kamu pingsan disekolah Sya, sampai  pulang sekolah kamu belum juga sadarkan diri, jadi aku dan Pak Wawan mengantarkanmu.” Jawab Ririn.
“Rin,, kamu tau hatiku seakan remuk. Seolah ranjau menikamnya tajam.” Isakku pada Ririn.
“Sya, kamu harus kuat. Aku yakin Adit pasti akan sembuh. Kamu harus sabar, kamu gak boleh terpuruk. Adit juga sedih kalau liatin kamu kayak gini.” Bujuk Ririn.
“Iya, Rin. Kamu janji ya, gak akan ninggalain aku, jangan buat aku sakit..” Tangisku meledak di pelukan Ririn.
“Pasti. Sudahlah, sekarang kamu mandi dulu, kita jenguk Adit barengan ya ?”
“Baiklah.”
Taksi yang kami tumpangi melaju santai, jalanan masih sepi. Dalam hati, tak henti-hentinya aku bermunajat agar Adit lekas sembuh. Karena aku bukan apa-apa tanpa Adit. Aku bisa menjadi seorang Akhwat seperti saat ini, berkat dorongan Adit dan Ririn. Rumah sakit Harapan Bunda sudah di depan mata. Aku belum yakin, apakah aku sanggup tuk berdiri? Aku merasa, tulang-tulangku seperti mencair.
Setelah bertanya pada suster, kami segera menuju ruang ICU di lantai dua. Dimana Adit terbaring tak berdaya, lengkap dengan mesin-mesin pembantu hidupnya. Sungguh, ingin rasanya aku menggantikannya ketika melihat keadaan Adit. Namun, aku tetap berusaha menguatkan diri karena melihat keadaan Tante Vivi mama Adit sangat memprihatinkan. Putra tunggalnya kini tidr nyenyak entah sampai kapan? Tak ada yang tau seperti apa takdir Illahi pada Adit. Yang pasti kami semua berharap agar Adit kembali normal seperti semula.
Akhirnya, aku dipersilahkan masuk untuk menemui Adit. Menurut, tante Vivi jika aku menemui Adit, mungkin akan merangsangnya untuk bangun dari alam bawah sadarnya. Dengan gemetar, segera kuikuti suster cantik itu menemaniku menemui Adit.
“As..salamu..alaikum, Adit. Ini aku Na..sya,” sapaku terbata-bata pada Adit yang masih tak bergeming.
“Dit, kamu harus sembuh. Kamu harus sadar, kamu harus menepati janjimu padaku malam itu. Kamu tau Dit, semua orang sangat menyayangimu, ku mohon Dit, bangunlah. Buka matamu, aku tau kamu orang yang kuat. Kamu ga boleh nyerah Dit, demi mama papamu, demi teman-temanmu, dan demi janjimu padaku. Sadarlah..” Tuturku.
Malam ini begitu sulit kulalui, pikiranku masih saja mengambang. Hatiku bergemuruh saat bayang Adit menghantui jiwaku. Kembali, kata-kata terakhirnya terngiang-ngiang di benakku. “Nasya, aku mau kamu berjanji untukku?” pinta Adit. “Janji apa Dit?” Tanyaku bingung. “Aku mau kamu janji akan mewujudkan cita-citamu, aku mau namamu menjadi ‘dr.Nasya Az Zahra. Sp.A’. kamu maukan janji untukku?” lanjut Adit. “Tentu saja. Kamu juga harus janji menjadi pilot, karena aku mau setiap kali aku harus pulang-pergi ke luar negeri. Aku mau kamu yang mengantarku.”Jawabku semangat. “Pasti, aku akan menjadi pilot pesawat terbaik, yang takkan mampu disaingi.”Jawab Adit. Narulah aku mengerti, kata-kata terakhirnya itu, petunjuk bahwa ia akan meninggalkanku. Kuputuskan tuk menghabiskan sepertiga malamku dengan berqiyamul-lail, ingin kuungkapkan segala kegalauanku pada-NYA.
Waktu seakan berputar begitu cepat. Sekarang aku sedang menyelesaikan studyku di Fakultas Kedokteran UI. Semuanya telah berubah. Hanya satu hal yang tak berubah, Adit, masih tetap terbaring kaku di ranjangnya. Tiga tahun sudah, Adit tetap diam dalam tidurnya. Takkah ia sadari, rinduku akan senyumnya, akan suaranya, begitu menyesakkan dada. Setiap kali kenangan indah malam itu hadir, ingin rasanya ku menangis, memukul Adit yang membiarkanku tersiksa karenanya.
Pagi ini, aku datang mengunjungi Adit di rumahnya, membawa buket krisan kesukaan Tante Vivi yang juga sangat disenangi Adit. Inilah kegiatan rutin yang selalu kulakukan disela-sela waktu luangku untuk mengunjungi Adit, berharap ia akan segera bangun dari tidur panjangnya. Tapi, sudah seminggu ini aku tidak menjengukknya, kegiatan kampus yang begitu padat menyita waktuku hingga aku terpaksa pulang malam. Setiba di depan rumah Adit, aku merasa aneh karena diramaikan oleh warga sekitar. Deg, hatiku bergemuruh kian hebat. Filing terburukku muncul, aku segera menepisnya. Lalu, aku melihat Ririn sedang menangis terisak di teras rumah itu. Ku percepat langkahku, ingin aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Assalamualaikum, Rin. Ada apa ini?” tanyaku kikuk.
“Waalaikumsalam. Sya, kamu harus tabah ya, Adit udah ninggalin kita semua tadi malam.” Jelas Ririn.
Seketika saja, buket krisan itu jatuh dari tanganku, aku merasa seperti membeku. Kata-kata itu menghunjam keras jiwaku. Ragaku seperti hendak ambruk, namun relung hati terdalamku menguatkanku untuk tetap tegar.
Segera aku berlari ke dalam, melihat sosok penghuni hatiku terbujur kaku. Aku duduk disamping jasad Adit yang membeku. Ada seberkas cahaya menghiasi wajahnya. Baru kali ini, aku benar-benar memperhatikan wajahnya, ku tatap lekat-lekat belahan jiwaku itu. Wajahnya begitu teduh, membuat jantungku berhenti berdetak saat memandangnya. Dalam hati tangisku meledak. Kubisikkan keluhku padanya dengan aksara yang tak berwujud dalam deraian air mata.
“Adit, sahabatku yang juga pemilik hatiku. Sesungguhnya, aku belum siap harus kehilanganmu saat ini. Aku belum sanggup merelakan pemilik hatiku pergi. Membiarkan jiwaku kosong dan membuatku nelangsa setengah mati. Namun, aku menyadari bahwa inilah yang terbaik untuk kita. Aku tau, bahwa kematian memang akan memisahkan setiap orang tanpa memandang bulu. Aku juga tau, dengan begini kau akan merasa lebih tenang, terbebas dari kesakitan cengkraman robot-robot itu. Aku sudah merelakanmu. Aku ikhlas kau pergi. Tapi, satu hal yang perlu kau tau, meski kini kita terpisah dinding waktu, percayalah.. hatiku tetap untukmu sahabatku, belahan jiwaku. Semoga kau kan setia menungguku di Istana-Nya.” Lirihku pedih.
Hari ini, detik ini, aku menepati janjiku pada Adit. Namaku sudah berubah seperti yang ia inginkan “dr.Nasya Az Zahra, Sp.A”. Aku telah mewujudkan janjimu untukku. Ku harap kau juga bahagia melihatku di sana. Terimakasih untuk janjimu.

__EPILOG__
“Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tanpa jeda…?
Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi….?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak…?”  
_Dee_
Telah kutepati janjiku padamu..,
Pemilik hati yang takkan terganti,
Memang ukiran kisah kita begitu singkat,
Hingga butuh waktu yang begitu lama untuk benar-benar bisa ikhlas melepaskanmu..
Kini, pergilah ke tempat terindah bersama hembusan angin senja....
_Raa_


Lhoksukon, 17 April 2013
Senandung Hati Saat Langit Bergemuruh
(untuk mereka yang mencintaiku)
ZATUL OMAIRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar