Purnama
tampak sangat gembira malam ini, pancaran cahayanya menyilaukan seperti terik
mentari. Jutaan bintang begitu mempesona panorama sang malam. Kunang-kunang
terbang dengan indahnya, membuat suasana hati menjadi lebih baik.
Aku
sangat menikmati kedamaian ini hingga tak menyadari kehadiranmu. Hal pertama
yang kau tunjukkan adalah senyummu yang begitu tulus. Sudah begitu lama kita
mengenal, dan kau selalu setia menemaniku. Bagiku, kau adalah tempat terbaik
tuk berbagi semua kegalauan ini.
Malam
ini, kau membawa sebuket mawar untukku. Mengapa? Bagaimana kau bisa tahu aku
sangat menyukai mawar? Akankah kau juga datang tuk memberiku salam perpisahan
seperti dia? Berbagai pertanyaan terus muncul dibenakku, tapi tak satupun yang
bisa kuucapkan padamu. Aku hanya bisa menatapmu dengan pandangan tak mengerti.
Beberapa
saat tatapan kita terus beradu, menyelidiki isi hati dari balik binaran bola
mata. Bunyi klackson mobil diseberang menyadarkan lamunan kita, membuat hati
bimbang menjadi serba salah.
Terdiam
dalam imajinasi masing-masing, akhirnya aku memutuskan tuk memulainya.
Ternyata, disaat yang sama kau juga melakukan hal yang sama. Kita benar-benar
terperangkap dalam tindakan bodoh yang berujung dengan kesunyian.
Ku
biarkan kau memulai percakapan aneh malam ini. Wajahmu tampak ragu, tapi ada
beban berat yang melekat di jiwamu yang tak pernah kulihat selama ini.
Berawal
dari canda ringan hingga kau tak lagi sanggup menutupinya. Kau utarakan semua
dengan jelas dan spontan. Kalimat terakhir dari bibirmu membuatku tersentak.
Aku tak percaya apa yang kau ucapkan. Aku benar-benar tak mengerti.
Aku
tak bisa mengucapakan apapun. Lidahku kelu, bibirku kaku, dan tubuhku
gemetaran. Tak ada yang bisa kukatakan selain meminta waktu tuk memberimu jawaban.
Kau memang sangat memahamiku, memberikan lebih dari yang kuharapkan.
Setelah
malam itu, aku terus berfikir akan memberimu jawaban apa? Bimbang dan rasa
bersalah menyatu membuatku semakin gelisah. Tak pernah kusadari kau telah
menyimpan rasa itu begitu lama, bahkan aku tak mempedulikannya dan memilih
mencintai orang lain yang tak pernah mencintaiku.
Dalam
setiap munajatku, tak henti kumemohon agar Tuhan memberiku petunjuk. Aku selalu
berharap bisa menjadi sumber kebahagiaanmu tuk membalas semua ketulusanmu
selama ini. Kau selalu ada saat aku membutuhkan pundak tuk bersandar sembari
meluruhkan air mata untuknya.
Sebulan
telah berlalu. Aku tahu itu bukan waktu yang singkat tuk menanti sebuah jawaban
dalam ketidakpastian. Harusnya, balasan terbaiklah yang dihadiahkan tuk
kesabaranmu selama ini.
Malam
ini, tak seperti malam sebulan yang lalu saat kau menyatakan perasaanmu.
Purnama tak bersinar, bintang-bintang bersembunyi dibalik sang kelabu, dan
kunang-kunang entah dimana mereka. Sepertinya, alampun tahu jawaban dari
hatiku. Dan senyummu yang tulus, lagi-lagi membuatku merasa sangat bersalah.
Mengapa kau harus jatuh cinta pada gadis sepertiku?
Tega
tak tega, sanggup tak sanggup, mampu tak mampu, aku harus bisa menjelaskan
semuanya padamu. Aku tak mungkin mengulur waktu begitu lama lagi sedangkan
jawabanku tetap saja akan menyakitimu.
Dalam
kebisuan malam bersama jatuhnya tetesan air mataku, aku harus melihatmu
terluka. Jujur saja, aku tak pernah ingin menyakitimu, andai bisa kuulang waktu
aku akan memilih mencintaimu sepenuh hati. Namun, rantai takdir kita begitu
kejam dan sulit tuk memotongnya.
Aku
hampir saja terjatuh saat menolak semua ketulusanmu, rasanya ulu hatiku seperti
ditikam samurai, lalu diobati dengan perasan jeruk nipis dan garam, perih
sekali bahkan lebih perih dari itu. Tapi, tak sedikitpun ku lihat kekecewaan
hadir di matamu. Kau masih tersenyum seperti biasa, tak ada yang berbeda.
Anehnya, kau malah mendekapku begitu erat dan memberiku kenyamanan yang luar
biasa.
Meskipun
lukamu lebih parah dariku, kau tak pernah ingin membuatku menyesal dan memilih
menyimpannya rapat-rapat seorang diri. Andai saja gadis itu bukan aku, mungkin
saat ini aku akan menggantikan posisimu tuk mendengarkan semua dukamu, tapi itu
tak mungkin karena akulah yang menggores luka itu padamu.
Dalam
renungan panjangku, aku terus memikirkan rasa sakitmu. Namun, aku tak bisa
melakukan apapun tuk membahagiakanmu. Aku ingin sekali mencintaimu sepenuh hati
seperti cintamu padaku, tapi itu hanya angan belaka.
Setelah
aku dihempaskan dengan harapan palsu darinya, terlalu sulit untukku bisa
mencintai lagi. Untuk melihat orang lain saja, aku hampir tak bisa
melakukannya. Luka yang dia sematkan sangat dalam hingga sulit menghilangkan
bekasnya.
Aku
berharap, suatu hari nanti Tuhan akan menitipkan kembali rasa cinta dihatiku
dan itu hanya untukmu seorang. Bersabarlah, meskipun kini saraf-sarafku tlah
mati rasa bersama kepergiannya, aku yakin jika saatnya tiba aku akan kembali
mencintai. Walaupun nanti kau tak lagi mencintaiku, setidaknya aku bisa
membalas persaanmu yang tersakiti.
24
Juli 2013, 21.16
Zatul
Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar