Tiga
belas tahun yang lalu, saat suara keras pecahan ban mobil terdengar. Ketika
beberapa dari mobil itu terguling dan menembus pembatas jalan, kenangan
menyakitkan itu terjadi. Ledakkan dahsyat dinamit, suara peluru yang nyaris menembus
tulang dan kobaran si jago merah. Semua masih terekam segar dalam ingatanku.
Minggu
pagi yang cerah. Saat semua orang sibuk dengan rutinitas masing-masing, na’as
itu datang. Hari itu, seperti kebiasaanmu setiap kali kau libur dari kelelahanmu,
kau datang menghampiriku, mengamit tangan mungil ini dan mengajakku bermain.
Gadis
mana yang tak menyukai harumnya parfum favoritmu itu, bahkan aku si gadis kecil
yang tak mengerti apapun saat itu sangat menyukainya. Aku menyukai
kesederhanaanmu, aku mencintai kasihmu yang lebih dari kasih seorang ayah.
Iya__ aku sangat merindukanmu.
Tepat
pukul 10.00, ketika semua aktivitas berada di puncaknya, tiba-tiba…. “dorrrrr”,
suara ledakkan yang menggentarkan sukma memecah keributan. Selanjutnya, aksi
ala film Hollywood pun nyata terjadi. Perang!!!
Kontak
senjata antara sesama mereka yang memilikinya secara legal berlangsung. Aku
hanya bisa menangis dalam dekapan mama, bersembunyi dalam ruang sempit di balik
rumah tua itu. Yang ku dengar hanya sebutan Asma-Mu dari setiap bibir yang
pucat.
Gang
sempit yang tadinya ramai oleh kesibukkan penduduknya, kini lenggang tak
bernyawa. Rumah-rumah panggung yang tampak asri, tiba-tiba menjadi begitu
suram. Setiap tamannya telah dikepung rapat oleh mereka yang entah siapa, aku
tak mengenal wajah-wajah itu.
Suara
dobrakkan dari sepatu kulit yang begitu khas nyaris menghentikan detak jantung
seluruh insan. Lemah tak berdaya dalam cobaan yang diberi Illahi.
Setelah
beberapa saat lamanya, setelah caci maki menyeruak di gang itu, semua laki-laki
mereka tangkap. Tanpa alasan yang jelas, mereka membawanya paksa.
Kau
juga ikut pergi, dengan keteduhan wajahmu, dengan ketakutan yang entah
bagaimana kau sembunyikan, kau berlalu sambil tersenyum dan berkata “tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa”.
Aku
hanya menatap kepergianmu dengan mata yang berbinar, tak pernah terbayang
pelukan dan harumnya parfummu pagi itu adalah saat terakhir bersamamu.
Masih
dengan beberapa caci yang terlontar dari mulut mereka yang tak ku kenal.
Suasana haru nan perih itu menyelimuti. Tatapan tajam yang mulai melembut
dengan senjata yang tampak menakutkan, seseorang datang mendekati dan berkata “tenanglah”.
Saat
ia mengucap kata-kata itu, bukan rasa tenang menghampiri, tapi ia telah
menciptakan kebencian yang amat sangat dalam diriku, kebencian dan dendam yang
mungkin akan kubawa mati.
Sudah lebih dari 120 menit sejak
mereka membawamu pergi. Ku pandangi wajah mama dan nenek yang cemas mencari
jejakmu yang hilang tak berbekas. Entah apa yang terjadi selama dua jam tadi di
pinggir jalanan itu, hingga saat kami berusaha menjemputmu, hanya sehelai baju
kaos yang kau kenakan tadi pagi bersama dompet hitammu yang tersisa.
“Lalu, kemana mereka membawamu?????????”
***
Ya,
hari ini tepat tigabelas tahun kami kehilanganmu. Sosok yang tulus dalam
keseerhanaan. Sosok yang selalu melampiaskan kegelisahan pada dirinya, sosok
yang tidak pernah membentak hebat saat emosi menguasainya, sosok yang begitu
kurindukan.
Setelah
tigabelas tahun berlalu, tak ada tanda apapun yang bisa memberikan keterangan
tentang keberadaannya, bagaimana kabarnya? Sedang apa ia? Masihkah ia di sini
atau mungkin ia sudah bersama bidadari yang diimpikannya? Tak ada yang tahu,
kecuali Tuhan dan malaikatnya.
Jika
tigabelas tahun yang lalu aku masih berusia empat tahun, masih menjadi seorang
gadis yang belum mengerti lika-liku kehidupan, kini semua berbeda. Perjalanan
waktu yang begitu cepat, mmbuatku menjelma menjadi gadis belia yang mulai
mengerti rintangan hidup. Memahami setiap kesulitan melewati detik dengan
masalah yang datang bertubi-tubi. Memohon kesabaran pada rindu terhadapa
sosokmu yang kian mencekam.
Jika
pada saat itu aku belum memiliki seseorang yang bisa kuajak berbagi. Bebarapa
detik silam, Tuhan mengirimkannya. Ia mengirimkan seseorang yang memiliki
kesamaan sifat, sikap dan pemikiran. Bahkan, memiliki permasalahan yang sama. Hanya
permasalah yang sama, tapi kita kehilangan orang yang berbeda.
Meskipun
kini kehidupan kami telah berotasi jauh lebih baik, lebih bahagia, tapi kenangan
tentangmu, sosokmu, takkan pernah terlupakan.
Setiap
kali merindukanmu, kutatap piano kecil yang tak lagi bersuara itu. Aku masih
menyimpan piano kecil dari mu, hadiah ulang tahunku yang ketiga darimu. Kau
memberikannya karena aku berharap akan menjadi seorang pianis suatu saat nanti.
Tapi, setelah semua terjadi, setelah aku kehilanganmu aku tak lagi berpikir
untuk menjadi seorang pianis, aku ingin menjadi seseorang yang mampu mengobati
luka yang terpahat sedalam apapun itu. Aku ingin menjadi sosok seperti embun
yang lembut dan menyejukkan.
Benih-benih
kesedihan tentangmu masih tersimpan rapi pada lobus-lobus hatiku. Seperti
halnya kebencian pada mereka yang berseragam aneh, seragam yang sangat kubenci.
Tapi, aku sadar, sedalam apapun aku membenci mereka, tidak akan membuatmu
kembali, tidak akan menemukan titik terang tentangmu, semua hanya akan
menyiksaku. Sekuat daya yang kumiliki, akan kuusahakan untuk menghapus
kebencian itu, agar aku bisa merelakan janjimu pada-Nya.
Ingatan
kecil tentang 17Sept2000
Untuk
Paman tersayang yang hilang tanpa jejak
Yang lebih Dicintai Rabbi-mu
Gadis kecilmu (Zatul Omaira)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar