Memories Of 17September


Tiga belas tahun yang lalu, saat suara keras pecahan ban mobil terdengar. Ketika beberapa dari mobil itu terguling dan menembus pembatas jalan, kenangan menyakitkan itu terjadi. Ledakkan dahsyat dinamit, suara peluru yang nyaris menembus tulang dan kobaran si jago merah. Semua masih terekam segar dalam ingatanku.
Minggu pagi yang cerah. Saat semua orang sibuk dengan rutinitas masing-masing, na’as itu datang. Hari itu, seperti kebiasaanmu setiap kali kau libur dari kelelahanmu, kau datang menghampiriku, mengamit tangan mungil ini dan mengajakku bermain.
Gadis mana yang tak menyukai harumnya parfum favoritmu itu, bahkan aku si gadis kecil yang tak mengerti apapun saat itu sangat menyukainya. Aku menyukai kesederhanaanmu, aku mencintai kasihmu yang lebih dari kasih seorang ayah. Iya__ aku sangat merindukanmu.
Tepat pukul 10.00, ketika semua aktivitas berada di puncaknya, tiba-tiba…. “dorrrrr”, suara ledakkan yang menggentarkan sukma memecah keributan. Selanjutnya, aksi ala film Hollywood pun nyata terjadi. Perang!!!
Kontak senjata antara sesama mereka yang memilikinya secara legal berlangsung. Aku hanya bisa menangis dalam dekapan mama, bersembunyi dalam ruang sempit di balik rumah tua itu. Yang ku dengar hanya sebutan Asma-Mu dari setiap bibir yang pucat.
Gang sempit yang tadinya ramai oleh kesibukkan penduduknya, kini lenggang tak bernyawa. Rumah-rumah panggung yang tampak asri, tiba-tiba menjadi begitu suram. Setiap tamannya telah dikepung rapat oleh mereka yang entah siapa, aku tak mengenal wajah-wajah itu.
Suara dobrakkan dari sepatu kulit yang begitu khas nyaris menghentikan detak jantung seluruh insan. Lemah tak berdaya dalam cobaan yang diberi Illahi.
Setelah beberapa saat lamanya, setelah caci maki menyeruak di gang itu, semua laki-laki mereka tangkap. Tanpa alasan yang jelas, mereka membawanya paksa.
Kau juga ikut pergi, dengan keteduhan wajahmu, dengan ketakutan yang entah bagaimana kau sembunyikan, kau berlalu sambil tersenyum dan berkata “tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa”.
Aku hanya menatap kepergianmu dengan mata yang berbinar, tak pernah terbayang pelukan dan harumnya parfummu pagi itu adalah saat terakhir bersamamu.
Masih dengan beberapa caci yang terlontar dari mulut mereka yang tak ku kenal. Suasana haru nan perih itu menyelimuti. Tatapan tajam yang mulai melembut dengan senjata yang tampak menakutkan, seseorang datang mendekati dan berkata “tenanglah”.
Saat ia mengucap kata-kata itu, bukan rasa tenang menghampiri, tapi ia telah menciptakan kebencian yang amat sangat dalam diriku, kebencian dan dendam yang mungkin akan kubawa mati.
            Sudah lebih dari 120 menit sejak mereka membawamu pergi. Ku pandangi wajah mama dan nenek yang cemas mencari jejakmu yang hilang tak berbekas. Entah apa yang terjadi selama dua jam tadi di pinggir jalanan itu, hingga saat kami berusaha menjemputmu, hanya sehelai baju kaos yang kau kenakan tadi pagi bersama dompet hitammu yang tersisa.
            “Lalu, kemana mereka membawamu?????????”
***
Ya, hari ini tepat tigabelas tahun kami kehilanganmu. Sosok yang tulus dalam keseerhanaan. Sosok yang selalu melampiaskan kegelisahan pada dirinya, sosok yang tidak pernah membentak hebat saat emosi menguasainya, sosok yang begitu kurindukan.
Setelah tigabelas tahun berlalu, tak ada tanda apapun yang bisa memberikan keterangan tentang keberadaannya, bagaimana kabarnya? Sedang apa ia? Masihkah ia di sini atau mungkin ia sudah bersama bidadari yang diimpikannya? Tak ada yang tahu, kecuali Tuhan dan malaikatnya.
Jika tigabelas tahun yang lalu aku masih berusia empat tahun, masih menjadi seorang gadis yang belum mengerti lika-liku kehidupan, kini semua berbeda. Perjalanan waktu yang begitu cepat, mmbuatku menjelma menjadi gadis belia yang mulai mengerti rintangan hidup. Memahami setiap kesulitan melewati detik dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Memohon kesabaran pada rindu terhadapa sosokmu yang kian mencekam.
Jika pada saat itu aku belum memiliki seseorang yang bisa kuajak berbagi. Bebarapa detik silam, Tuhan mengirimkannya. Ia mengirimkan seseorang yang memiliki kesamaan sifat, sikap dan pemikiran. Bahkan, memiliki permasalahan yang sama. Hanya permasalah yang sama, tapi kita kehilangan orang yang berbeda.
Meskipun kini kehidupan kami telah berotasi jauh lebih baik, lebih bahagia, tapi kenangan tentangmu, sosokmu, takkan pernah terlupakan.
Setiap kali merindukanmu, kutatap piano kecil yang tak lagi bersuara itu. Aku masih menyimpan piano kecil dari mu, hadiah ulang tahunku yang ketiga darimu. Kau memberikannya karena aku berharap akan menjadi seorang pianis suatu saat nanti. Tapi, setelah semua terjadi, setelah aku kehilanganmu aku tak lagi berpikir untuk menjadi seorang pianis, aku ingin menjadi seseorang yang mampu mengobati luka yang terpahat sedalam apapun itu. Aku ingin menjadi sosok seperti embun yang lembut dan menyejukkan.
Benih-benih kesedihan tentangmu masih tersimpan rapi pada lobus-lobus hatiku. Seperti halnya kebencian pada mereka yang berseragam aneh, seragam yang sangat kubenci. Tapi, aku sadar, sedalam apapun aku membenci mereka, tidak akan membuatmu kembali, tidak akan menemukan titik terang tentangmu, semua hanya akan menyiksaku. Sekuat daya yang kumiliki, akan kuusahakan untuk menghapus kebencian itu, agar aku bisa merelakan janjimu pada-Nya.

Ingatan kecil tentang 17Sept2000
Untuk Paman tersayang yang hilang tanpa jejak
Yang lebih Dicintai Rabbi-mu
Gadis kecilmu (Zatul Omaira)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar