Aku Bahagia Untukmu


“Hai, melamun terus nih, kenapa? Ada masalah? Cerita donk!!!”, kata Raya sambil menepuk pundakku.
“Eh, enggak ada apa-apa kok Ra!! Ngagetin aja kamu,” jawabku berusaha meyakinkan.
“Enggak ada apa-apa kok melamun. Sudahlah Qila, kita ini sudah sahabatan sejak kecil, kenapa masih suka rahasia-rahasian sih?” sahut Raya dengan wajah cemberut khasnya.
“Beneran sayang, aku enggak apa-apa, gak ada masalah kok. Emang salah ya kalau aku suka melamun?”, jawabku sambil mencubit pipinya.
“Yasudah kalau gak mau cerita, jangan marah jika aku juga bersikap sepertimu nantinya!!”, ucap Raya sembari meninggalkanku.
***
            Percakapan sore itu berakhir dengan kemarahan Raya. Akhir-akhir ini aku memang banyak berubah. Lebih pendiam dan sering melamun, entah apa yang salah, aku pun tak tahu. Bahkan mama dan ayah juga menyadari perubahan drastis pada anak gadisnya ini.
            Semangat belajarku mulai patah sejak aku dan Raya bersekolah di SMU yang berbeda. Semenjak duduk di bangku SMU ada banyak cobaan yang menyapa. Jika dulu di SMP ada Raya yang selalu sigap membantuku, kini aku tak punya siapapun. Teman-teman baru pun spertinya banyak yang tak cocok dengan sikapku. Mereka terlalu sibuk menghadapi era globalisasi dan pacaran adalah topic utama dalam setiap perbincangan, dan itu membuatku seakan ingin muntah saat melihat semangat mereka bercerita.
            Setiap sore, Raya selalu datang kerumahku. Kami selalu bercerita tentang sekolah masing-masing, tentang teman-teman yang sibuk dengan urusan cinta, dan tentang kerinduan kebersamaan saat SMP.
            Raya adalah sahabatku sejak kecil. Kami bertemu 7 tahun yang lalu disebuah TPA (Tempat Pengajian Anak). Kebetulan saat itu aku dan Raya belajar mengaji di kelas yang sama. Sejak hari itu kami mulai berteman dan waktulah yang berhasil mengajak kami pada sebuah persahabatan yang indah. Kami selalu merancang masa depan bersama dan berusaha saling menguatkan.
“Qila, kamu ini kenapa nak?”, tanya mama tiba-tiba.
“Ke..kenapa apanya ma?”, tanyaku kembali.
“Lha kok nanyak balik? Kamu itu sering melamun, malas makan, malas belajar juga? Ada yang masalah?” , tanya ayah.
“Eng..enggak ada kok yah. Lagi gak nafsu makan aja, kecapekan.” Jawabku singkat.
“Kamu kecapekan kenapa? Kerjamu cuma sekolah, bersih-bersih rumah, dan tidur!!”, sahut mama.
“Sekolah juga butuh tenaga ma, wajar donk kalo Qila capek!!,” jawabku sambil tersenyum.
“Sudah.. sudah, jangan diperdebatkan lagi. Kalau ada masalah itu cerita ke orang tua atau ke siapa aja yang kamu percaya jangan mendam sendiri!”
“Iya Yah, pasti Qila cerita kok.”
***
            Sulit sekali memejamkan mata ini. Kupandangi jam dinding berbentuk Pooh kesayanganku menunjukkan pukul 01.45, ini sudah sangat larut malam bagi seorang Aqila Diniya, yang terkenal tukang molor karena jam 20.00 sudah terkapar.
            Ya. Beberapa waktu ini memang ada seseorang yang terus membayangi hidupku. Sejak kemunculan bayangannya, hidupku berubah. Bukan kearah positif tapi negative. Hatiku berkecamuk hebat tiap kali mengingatnya. Dia bukan orang asing bagiku. Aku sangat mengenalnya, bahkan sejak aku belum bisa mengenali aksara tapi aku telah lebih dulu mengenalnya.
            Kucoba menghapus bayang itu, namun sia-sia saja, malah ia terasa lebih erat mendekapku. Kuputuskan mengambil wudhu lalu shalat sunat Tahajjud dan memohon ketenangan pada Allah. Aku yakin ini semua adalah ulah ciptaan-Nya yang terkutuk.
***
            “Qila, besok kita ada latihan debat ya jam 3 di aula serbaguna, jangan telat!!” ucapnya.
            “Oh iya iya. Makasih infonya…”, jawabku sekenanya.
            Aku terpilih menjadi salah satu peserta dalam lomba debat bahasa Inggris yang diadakan oleh pemerintah setiap tahunnya. Dalam tim debat itu hanya aku sendiri yang perempuan, dua rekanku adalah siswa dari kelas yang lain. Entah bagaimana Pak Iwan menyeleksi hingga aku terpilih, padahal bahasa inggrisku tidak terlalu fasih.
            Namun yang membuat hatiku seakan berhenti berdetak adalah dia yang tiba-tiba datang memberikan informasi penting ini untukku. Meskipun kami berada dalam tim yang sma, kami jarang berbicara dan hanya menegur sapa seadanya. Ia (terlalu) dingin atau mungkin aku yang pemalu. Tapi, mengapa bayangannya selalu menghantui pikiranku? Mengapa aku sangat bahagia saat ia berbicara padaku, padahal hanya membarikan informasi singkat dan itu adalah hal yang wajar?
***
            Hari ini, lomba debat diadakan. Aku sangat gugup meskipun kami telah latihan semaksimal mungkin. Aku takut jika nanti kaku dan tak dapat menjawab, karena aku ingin memberikan yang terbaik untuk sekolah dan membanggakan kedua orang tuaku.
            Saat aku sedang bersiap-siap, rekanku Daniel sekaligus teman dekatku datang menghampiri.
“Santai aja Qil, kita pasti bisa, semangat!!!” katanya.
“I.. iya. Kita pasti menang dan harus menang. Tapi, tetap saja aku gugup…” jawabku.
“Sudahlah, berhenti menakut-menakuti diri sendiri. Tampil apa adanya saja dan yakinlah kita bisa, oke???” jawab Daniel menyemangatiku.
“Iya Dan, makasih ya.” Ucapku.
“Iya sama-sama. Pokoknya Aqila, Rendi dan Daniel pasti bisa.” Jawabnya.
“Yapsss… SMA Bunga Bangsa pasti menang!!” jawabku menambahkan.
            Tiba-tiba ada seseorang yang datang dari belakang lalu memelukku. Betapa kagetnya diri ini, ternyata Raya juga datang menyaksikan pertandinganku. Dan kehadiran Raya membuatku semakin yakin untuk tampil percaya diri.
“Qila sayang, tolong ya jangan bawa-bawa penyakit gagap kamu hari ini saja. Kamu harus tampil istimewa dan buktikan bahwa kehadiranku tidak sia-sia.”
“Iya non Raya, penyakit gagapnya kutitip ke kamu, bisakan?”
“Emm… untuk hari ini demi sahabatku tersayang, bisalah… Fighting!!!” ucapnya sambil mencium pipiku.
“Aduh, dicium sama non Raya semakin semangat aja nih. Siph, aku pasti bisa, doakan aku ya??”
“Iya, pasti!!”
            Semuanya berjalan lancar. Alhamdulillah kami meraih juara pertama dan ini semua berkat kerja keras dan doa dari orang-orang terdekat. Entah bagaimana ekspresi yang kutunjukkan tatkala kakak host mengumumkan bahwa kami adalah juaranya.
            Aku sangat senang hingga air mata haru tak terasa mengalir dipipu. Ku peluk mama, papa, dan Raya tak lupa juga bersalaman dengan rekan dan guru pembimbingku. Ini adalah hari terbaik untukku. Hari dimana aku bisa melihat guratan kebahagiaan dengan di wajah seseorang yang lama mendekap jiwaku.
***
            Petang ini, sembari menatap keindahan senja bersama sahabatku tercinta. Ada bait larik yang tertulis dalam benakku. Hembusan angin sepoi-sepoi membantuku menemukan jawaban dari semua keanehan yang terjadi pada diriku.
            Aku mengerti mengapa bayangnya terus memeluk jiwaku? Mengapa aku selalu merindukannya? Dan bagaimana aku merona tatkala melihat senyumnya? Iya, aku jatuh cinta padanya. Seseorang yang ku kagumi diam-diam.
            Meski aku telah mengetahui semua ini, sepertinya akan lebih baik jika kukubur dalam-dalam agar tak ada yang tersakiti. Biar aku dan diriku yang terluka tanpa harus mengumbar sayatan pilu itu pada semesta.
            Sebuah kalimat yang pernah kubaca di media social (Semakin sering kamu memikirkannya, semakin kamu merindukannya) ternyata terwujud dalam hidupku. Mungkin ini hanya cinta monyet, cinta masa remaja yang belum mengerti lika-liku kehidupan.
            Walau kuyakin akan sulit melupakannya. Kuharap  waktu akan berpihak padaku dan memudarkan rasaku yang terlanjur berwarna pada hatinya.

*Puisi Aku Bahagia Untukmu*
Jemariku kaku karena rindu kian membeku…
Pengabaianmu akan rasaku yang terlanjur mengalir
Menerjunkan jutaan tetesan yang tersembunyi dibalik ketegaran
Meskipun tanpa sadar kau merenggut hatiku
Lalu membiarkannya terluka,
Tak mengapa, waktu akan memudarkannya…
Seperti yang tersirat dalam suratan…
Ketidakpekaanmu pada rasaku
Sesungguhnya penghantar alur yang baik dalam cerita kita
Semoga kau akan terus menjadi dirimu
Kamu yang tak pernah peduli arti hadirku
Kamu yang hanya menatapku datar
Karena jika nanti aku pergi, takkan ada luka yang mengisi hatimu
Cukup luka ini aku yang rasakan
Berbahagialah karena aku bahagia untukmu….
141013
Dalam sendunya irama instrumental “Reason”
Zatul Omaira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar