Romansa Yang Terluka


 (Disarankan membaca cerpen ini sambil mendengar lagu Rando_Menunggu ^__^)

                  Sabtu malam dalam kesepian yang menjuntai, ada setitik butiran yang mengenang di sudut mata. Jemarinya dengan lembut menari di atas tuts-tuts piano tua itu. Ia sangat menikmati alunan nada yang menggetarkan sukma. Dalam hening malam, bersama rinai hujan yang membasahi bumi, ia mengenang masa silam yang menyakitkan.
            Aku hanya berdiri mematung di beranda, menantikan ia membuka pintu dan menerima kehadiranku. Sembari kutatap langit malam nan gelap, ada secercah harapan yang timbul dalam benak, sebentuk keharusan yang wajib kupenuhi.
            Dinginnya suasana alam dan iklim yang tak menentu merembes hingga ke sumsum tulang. Kudekap erat tubuhku, lalu terdengar jeritan pintu yang terbuka perlahan….
“Feri…..!!!”
“ Iya Kay??”, jawabku sambil tersenyum.
“Kamu kenapa enggak ketuk pintu??”, ucapnya tergagap.
“Ah.. itu karena aku sangat menikmati permainan musikmu, jadi aku lupa mengetuk pintu!!”, jawabku berbohong.
“Benarkah? Tapi aku sulit mempercayainya!!! Ayo masuk??”
“Terserah kamu saja..”, jawabku sambil melangkah masuk ke rumah kecil itu.
            Mataku menyapu seluruh ruangan, dekorasi dan reliefnya yang demikian unik membuatku terpana beberapa saat. Bangunan ini sudah lama kusinggahi, dan aku sudah sangat mengenal seluk beluknya.
            Sepuluh tahun yang lalu, saat aku berumur delapan tahun ayah membuka usaha barunya di sini, kami pun pindah kemari. Saat itu aku menangis, aku marah karena tak ingin meninggalkan teman-temanku di Jogja. Tiba-tiba, seorang gadis dengan gulali di tangannya datang menghampiriku dan memberikan gulali itu. Sebenarnya, aku ingin membuang gulali itu, tetapi ketika kutatap matanya, kutemukan sebuah cahaya ketulusan yang sebelumnya tak pernah ku lihat. Sejak saat itulah aku dan Kayla berteman dan menjadi sepasang sahabat seperti saat ini.
Kayla sepuluh tahun yang lalu sangat berbeda dengan Kayla saat ini. Dulu ia sangat cerewet, pintar, dan tentu saja periang. Tapi, Kayla yang sekarang adalah Kayla yang sebeku gunung es, hanya pada waktu tertentu saja akan kembali Kayla yang penuh kehangatan.
Aku masih terpaku pada sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding rumah itu. Ada tiga orang yang sangat berbahagia di sana, juga ada senyuman yang selalu kuimpikan terlukis di sana. Mata Kayla masih basah saat ia datang membawakan secangkir teh hangat untukku.
“Ini tehnya di minum Fer mumpung masih hangat…”
“Ehh,, iyaa.. ngerepotin aja Kay….”
“Enggak kok, jangan berlebihan!!”
“Heheh, makasih ya Kay”
“Sama-sama. Oh iya, tante sama om Adi gimana di Eropa? Sehat?”
“Alhamdulillah, mama sama papa baik-baik aja. Emm,, Kay…??”
“Syukurlah…! Iya, ada apa?”
“Aku.. mau bilang sesuatu sama kamu?”
“Tentang apa? Ngomong aja Fer, aneh banget kamu..!!”
“Aku.. bakal lanjutin kuliah ke Paris, mama papa minta aku ke sana, mereka juga ngajak kamu, kamu mau ikut kan???”
“Wahhh,, keren banget ke Paris, dari kecil aku selalu berdoa agar bisa pergi ke sana, mungkin doaku hampir dikabulkan. Tapi maafkan aku Fer, aku gabisa ikut ke sana, aku mau di sini saja menemani nenek, kamu pahamkan?? Jika kelak kamu sudah berhasil kita akan bertemu lagi di sini. Percayalah!!”
“Iya Kay, semoga Tuhan menyiapkan rencana yang indah untuk kita. Kuharap kamu tidak akan melupakan aku dan kenangan kita!!”
“Feri…!!! Aku bukan seseorang yang mudah melupakan, apalagi melupakan sosok sahabat terbaikku, tentu saja tidak!!”
“Iya, aku tahu Kay. Itukan Cuma pengharapan aja. Aku pamit yaa.. salam untuk Nenek. Aku akan berangkat besok. Doakan aku yaa??”
“Tentu saja. Hati-hati!!!”
***
            Gumpalan awan keemasan terlihat sangat indah dari balik jendela pesawat. Aku tidak terlalu menikmati perjalananku. Aku merindukan Kayla, aku tak bisa meninggalkannya begitu saja, tapi takdir berkata lain.
            Ada penyesalan yang membuncah dihatiku. Ada kekecewaan yang teramat dalam pada diriku. Aku selalu menahan perasaanku, mencoba mengalihkan dan tidak memperdulikannya, semua usaha bodoh yang kulakukan untuk menutupi ketakutanku.
            Aku tidak hanya ingin pamit pada Kayla, aku juga ingin mengatakan perasaanku yang berubah terhadapnya. Sayang, mulutku tertutup rapat saat akan mengatakannya, lidahku mengeras, saraf-sarafku seperti berhenti bekerja dan kakiku melangkah begitu saja meninggalkan Kayla dengan linangan air mata bahagianya (mungkin).
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk melukis kenangan baru. Bukanlah hal yang mudah saat aku harus membungkus kerinduanku dengan dinginnya susupan salju musim dingin, melepas kegalauan bersama dedunan yang bebas melayang ketika musim gugur menghampiri.
            Aku termangu menatap rumah tua itu. Warnanya yang kusam, tamannya yang tandus, segalanya tampak sangat berbeda, dan lagi kekecewaan yang harus menemaniku. Aku kehilangan Kayla.
            Kepergian nenek juga membawa Kayla pergi, meskipun mereka pergi ke tempat yang berbeda. Aku juga tak tahu apakah aku bisa menemukan Kayla. Mungkinkah aku dan Kayla juga akan ditakdirkan pada rantai yang sama. Hanya Illahi yang dapat menjawab semua kemungkinan itu.
***
            Aku mulai putus asa mencari Kayla. Aku berusaha untuk melupakan perasaanku dengan mensugestikan diriku bahwa Kayla bukanlah takdirku. Aku mulai membuka hatiku, tapi aku masih tak mampu menggantikan sosok Kayla. Aku jenuh dengan segala hal yang menimpa hidupku. Aku frustasi sampai berpikir untuk mengakhiri hidupku. Untungnya ada seorang ustad yang berhasil menyadarkanku. Darinyalah aku belajar banyek tentang cara memposisikan cinta terhadap insan.
            Di tengah hiruk pikuk mesin kendaraan, aku masih mengadukan hatiku pada Illahi. Aku memohon untuk diberikan petunjuk takdirku. Aku memohon agar Kayla selalu sehat dimana pun ia berada dan semoga ia selalu dalam lindungan-Nya.
            Sebelum aku berangkat untuk tugas di Bangka Belitung, aku menyempatkan diri bertemu Ustad Aji yang sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Aku pamit dan mohon doa restu darinya.
***
            Gemercik ombak yang menembus karang membuat hatiku semakin pilu, namun kesejukkan warna biru yang terhampar luas mampu menetralisirkan segala kesedihan. Camar menari dengan riangnya bersama hembusan angin senja menanti kepergian sang mentari.
            Guratan kemerahan di cakrawala mengingatkanku akan kenangan indah bersama Kayla. Saat kami bersembunyi di balik bukit untuk melukiskan keindahan senja, ia rela dimarahi nenek demi mewujudkan keinginanku (aku masih belum melupakanmu).
            Detik-detik kepergian sang surya memang telah mendekat, hanya dengan hitungan jari ia akan segera tenggelam, menggantikan tempatnya pada rembulan, dan beristirahat sejenak untuk melepas kerisauan.
Di selatan, kulihat seorang gadis juga sedang menikmati kepergian sang mentari. Ada perasaan berbeda dalam diriku saat melihatnya. Aku tak pernah bertemu dengannya, tapi merasa mengenalnya. Batinku mendorong langkahku yang kaku tuk mendekatinya. Aku terus berjalan tanpa tahu apa yang akan kulakukan. Langkahku semakin cepat, aku seperti tak bisa mengendalikan diriku.
            Semakin aku mendekatinya, semakin kencang detak jantungku, bahkan aku tak lagi bisa merasakan irama normal pada denyut nadiku. Kutarik napas dalam-dalam. Ku coba menyusun kalimat terbaikku agar ia tak terkejut dan mencurigaiku.
“As..salamu..alaikum??”, ucapku terbata.
“Waa.. alaikumsalam!!”, jawabnya sambil menoleh ke arahku.
            Aku terperangah saat melihat wajahnya. Gadis itu,, gadis itu adalah seseorang yang selama ini meracuni jiwaku. Perempuan yang membuat mataku sulit terpejam dalam malam-malam sunyi. Sosok yang telah membekukan hati dan jiwaku.
“Kayla…..!!! Kamu Kayla???”, ucapku tak percaya.
“Iya, aku Kayla!! Kamu lupa sama aku??”
“Tentu saja tidak. Hanya saja kamu berbeda, sangat berbeda!!”
“Berbeda? Apanya? Apa aku terlihat lebih jelek??”
“Tidak Kay, kamu anggun dengan jilbabmu.”
“Benarkah?? Lalu, ke.. kenapa kamu di sini??”, jawabnya buru-buru.
“Iya!! Aa.. aku sedang melakukan penelitian. Kamu?”
“Aku menetap di sini sekarang!!”
“Lalu, kenapa kamu pergi tanpa memberitahukanku Kay? Setega itukah kamu pada sahabatmu??”
“Maafkan aku Fer, aku hanya ingin membuka lembaran baru di sini, kepergian orang tuaku, lalu kepergian nenek membuatku sangat terluka. Aku tak ingin kau juga pergi meninggalkanku seperti mereka, maka biarlah aku yang pergi..”
“Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku sudah mengatakannya padamu, lalu kenapa harus mengingkari janjimu Kayla?”
“Entahlah.. aku tidak bisa berfikir jernih saat itu. Yang kutahu, aku hanya harus pergi dari masa lalu…”
“Kamu egois!!!”
“Apa?? Atas dasar apa kamu mengatakan aku egois??”
“Aku punya banyak dasar yang kuat atas keegoisanmu Kay!!”
“Oh yaa.. tolong jelaskan padaku???”
“Baiklah. Jangan menangis dan jangan menyesal jika ini menyakitkan!! Kamu tau?? Kamu bilang kamu pergi untuk mengubur masa lalu, tapi kamu tidak pernah tahu ada yang terluka dengan kepergianmu. Kamu mungkin bahagia dengan kenangan barumu, sedangkan di sana, ada seseorang yang hampir melupakan keimanannya karena terlalu merinduimu. Kamu tidak pernah menyadari itu, karena kamu hanya memikirkan dirimu. Kamu hanya peduli terhadap lukamu. Kamu selalu menganggap bahwa hanya kamu yang memiliki masalah terumit di dunia ini. Kamu egois Kay!!!!”
“….”
            Kayla hanya terdiam bersama tunduk dalamnya. Aku bisa melihat beberapa buliran air mata yang jatuh membasahi pasir putih. Suasana kian mengelam, angin senja tak lagi berhembus sepoi-sepoi. Aku mencoba menenangkan emosiku, dan Kayla masih bisu dalam tunduknya.
“Kayla…..”, lirihku.
“Maafkan aku Fer, aku tahu aku egois, tapi aku tak bermaksud menyakiti siapapun..”
“Ini bukan salahmu, hanya saja waktu dan keadaan yang memaksamu seperti ini…”
            Kayla masih enggan mengangkat wajahnya. Aku ingin memeluknya, aku ingin menghapus lukanya, tapi aku bukan siapa-siapa.
“Fer.. bolehkah aku bertanya padamu?”
“Apa itu?”
“Tolong jawab dengan jujur, apa maksud kata-katamu tadi? Siapa yang terluka karenaku?”
“Ii.. itu.. dia…”
“Siapa Fer??? Tolong jawab??”, bentak Kayla sambil menatapku.
“Aku. Aku yang terluka karena keegoisanmu.”
“Apa maksudnya ini Fer?”
“Iya Kayla.. aku yang telah kamu lukai, tidak, bukan kamu, tapi kebodohankulah yang telah melukai hatiku sendiri.”
“Kebodohanmu? Aku tidak mengerti? Tolong jelaskan semuanya padaku, aku tidak ingin ada rahasia dan kesalahpahaman diantara kita lagi!!”
“Kayla…! Maaf jika ini membuatmu benci terhadapku, tapi kamu harus tahu aku telah menyimpan rasa ini sejak lama padamu. Aku ingin mengatakannya saat aku pamit dulu, tapi aku tak punya nyali segunung untuk mengungkapkannya. Aku hanya terus memendam dan berharap kamu akan memiliki rasa yang sama padaku. Dalam doaku selalu ada namamu.”
“Feriiiii….!!! Kenapa kamu melakukan itu? Kenapa kamu tega membuatku menunggumu? Kenapa Fer??”
“Menunggu aku? Apa maksudmu?”
“A.. aku menunggumu. Aku berharap kamu adalah rantai takdir kebahagiaanku. Tapi, segalanya pupus ketika kamu memilih Paris. Aku sakit ketika kamu pergi. Aku berharap kamu akan berpaling dan menatapku untuk terakhir kalinya, tapi aku salah, kamu pergi seakan tak membawa beban. Aku kecewa, dan memilih pergi diam-diam.”
“Maafkan aku Kayla.. mafkan aku!! Aku tak pernah ingin menyakitimu!!”
 “Maafkan aku juga…! Aku menyesali segala kecerobohanku.”
“Tak ada yang perlu disesali, jangan merasa bersalah, semuanya belum terlambat..!! Kini kita sudah saling mengetahui, kita hanya perlu merajut takdir seperti yang kita mau, biarkan Illahi yang menentukan polanya.”
“Iya…! Aku yakin, aka nada bentuk terbaik yang telah direncanakan Illahi untuk kita…”
“Tentu saja!!”
            Hari itu, semua kenangan lalu telah menyatu dalam masa depan yang akan terbingkai rapi. Meskipun fajar dan senja tidak akan pernah bersatu, namun keindahannya akan selalu membahagiakan insan yang terluka. Seperti halnya sekilas kesabaran dalam menanti yang membuahkan kebahagiaan bersama air mata haru yang jatuh bagai derasnya percikkan Niagara.

22.00 | 281113
Jika menanti adalah pilihan….
Zatul Omaira

Sepenggal Cinta Untukmu


Jari ini masih terus saja melukis sajak-sajak tentang kepedihan itu. Haruskah aku memiliki alasan untuk mencintaimu? Adakah alasanmu untuk menyakitiku? Apakah aku harus berhenti mencintaimu karena kau menyakitiku?
Pertanyaan itu terus saja muncul bersama derasnya air mata yang terurai. Ku pandangi lekat-lekat langit senja, salahkah takdir tak pernah menyatukan rembulan dan mentari? Atau mungkin kita harus menyalahkan Tuhan karena rantai takdir yang begitu kejam? Ah, rasanya tidak pantas. Kita terlalu egois melakukan hal itu. Meskipun kejam, aku yakin Tuhan punya rencana yang lebih indah.
Kembali terkenang masa-masa indah bersamamu. Saat itu, kau duduk di pasir putih yang terhampar indah. Bersama deruan ombak, kau sibuk dalam duniamu. Entah apa yang terbentuk dari goresan-goresan itu, aku bingung. Hanya bisa menyaksikan wajahmu yang tenggelam dalam halusinasi itu.
Meski baru sebentar mengenalmu, aku yakin cintaku padamu tulus, bukan nafsu semata. Namun, tiap tatapan kita bertemu, aku tak pernah melihat pancaran cinta dari sinar matamu. Ahhh, betapa bodohnya aku? Mana mungkin kau bisa mencintaiku sebegitu cepat? Namun aku yakin, suatu saat nanti pasti akan kutemukan cahaya itu.
***
            Rintik hujan begitu deras, dinginnya menyusup hingga ke ulu hati. Di balik jendela, ku pandangi bumi begitu bersedih, entah apa penyebabnya? Aku enggan tuk memikirkannya. Di seberang sana kulihat kau termenung di beranda kamarmu. Adakah yang mengganggumu? Wajahmu begitu muram, andai mungkin ingin kau bagikan lukamu padaku, aku akan menampungnya untukmu. Aku hanya ingin melihat senyum bahagia di wajahmu.
“Hei!!”
“Hai. Ada apa?”
“Gak ada apa-apa. Kok murung gitu?”
“Ahh... Emm, aku hanya sedang butuh inspirasi. Itu saja?”
“Benarkah? Inspirasi seperti apa yang kau butuhkan hingga begitu murung?”
“Aku butuh kekuatan yang mampu mengubah inspirasiku melupakan masa lalu..”
“Hanya itu? Bolehkah aku membantumu?”
“Tentu saja.”
            Pembicaraan hari ini berakhir dengan sebuah senyuman termanis yang tak pernah aku jumpai sebelumnya. Betapa bahagianya hati ini, hingga kupu-kupu pun tak mampu mengungkapkan manisnya madu di bunga pheony.
            Seperti sebelumnya, kau selalu tenggelam dalam imajinasimu, bahkan tak menyadari kehadiranku. Rasa penasaranku tak bisa terbendung lagi, aku benar-benar ingin tahu apa yang membuatmu sedemikian larut pada kanvas itu.
            Seperti biasa, unek-unek yang sudah menggunung itu lagi-lagi hanya bisa kusimpan dalam hati, meski sebagiannya tidak sengaja kucoret pada lembaran setia diaryku. Satu persatu kata kurangkai, hingga tersusun menjadi paragraf yang indah dan berharap kita bisa saling menunjukkan karya hati kita masing-masing suatu saat nanti.
***
            Hari-hari berlalu tanpa jejak. Masih dibangku taman yang sama. Kau duduk disana. “Ada apa? Mengapa mengajakku bertemu? Akankah harapanku menjadi nyata?” Hatiku sangat gelisah, dan itu membuat langkahku semakin gemetar saat semakin dekat denganmu.
            Aku tak ingin kau menyadari kegelisahanku. Semampu mungkin aku berusaha untuk tetap tenang. Dari kajauhan, kau coba tersenyum saat melihatku, meski hanya sebuah senyuman datar. Aku pun membalasnya dengan senyuman terbaikku.
            Dan detik yang kunanti pun tiba. Seminggu yang lalu, kita berjanji akan menukar dan memperlihatkan karya hati kita tiap kali bertemu di taman ini, aku berharap tentangkulah yang terlukis dikanvas itu, sama seperti aku yang mengurai kisah tentangmu di lembaran ini.
“Kamu yakin, kita akan melakukannya sekarang?” ucapnya membuyarkan lamunanku.
“Ten...tentu saja! Apakah kamu ragu untuk menunjuknya padaku?” jawabku seraya menatapnya.
“Tidak. Hanya saja aku tak ingin orang lain merasakan kepedihanku.”
“Bukankah, kepedihan itu akan terobati jika kita membagikannya?”
“Benar. Terima kasih telah membantuku.”
“Jangan ucapkan terima kasih. Aku tak suka mendengarnya.”
            Kami pun saling memberikan karya masing-masing. Aku masih menutup mataku, aku takut impianku semu. “Tidak! Aku tak boleh memaksakan kehendakku.” Batinku menjerit.
            Air mataku jatuh tak karuan, bibirku kelu, lidahku kaku, hatiku hancur, remuk bersama jiwaku yang goyah. Semuanya sirna, seperti diterpa halilintar di siang yang cerah.
            Kanvas itu, tak sedikit pun menggambarkan kehadiranku. Hanya ada sketsa wajah seorang wanita yang sangat bersahaja. Kucoba menahan air mataku, saat ia menatapku. Sepertinya ia menyadari ada luka yang teramat dalam pada hatiku, ia memelukku, seolah mencoba menenangkanku. Sesaat kemudian….
“Maafkan aku…” ucapnya sembari melepasku.
“Mengapa harus minta maaf?”
“Aku tahu, sejak dulu kau sudah menyimpan rasa padaku. Tapi, aku tak bisa membalasnya. Maafkan aku? Dia terlalu sempurna untukku, hingga aku tak mampu melupakannya. dia sudah melekat erat dalam relung asaku.”
“Aku mengerti. Kau tidak bersalah, akulah yang seharusnya memohon maaf karena telah lancang mencintaimu.”
“Tidak. Harusnya aku yang minta maaf, karena tak bisa membalas rasamu?”
“Kau tidak salah. Kau melakukan yang terbaik untuk cintamu, jagalah ia.”
“Tapi, aku telah menyakitimu?”
“Tidak. Meski aku sakit, ini adalah konsekuensi jatuh cinta. Dan ini tidak sebanding dengan sakit yang kau rasakan saat menjaga cintamu.”
“Terima kasih. Terima kasih atas pengertianmu. Aku berharap, suatu saat nanti kau akan menemukan yang jauh lebih baik dariku.”
“Tentu saja. Aku senang bisa mengenalmu (aku juga bahagia bisa mencintaimu).”
            Walau perihnya tak tertahankan. Tapi, kau dan cinta ini begitu berarti. Tak sedikitpun aku membencimu. Karena semua ini telah memberiku pelajaran yang sangat berharga, bahwa setiap ada aksi pasti akan diikuti oleh sebuah reaksi, positif atau negative.
            Kamu mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya. Kamu juga mengajarkan pengertian, pemahaman, dan kesabaran dalam menjalin sebuah rasa. Cinta, tentu saja akan datang pada setiap orang, ia akan menemukan pasangannnya, lalu berbahagia menjemput surga-Nya.


120713
Biarkan lukamu sembuh perlahan
Zatul Omaira

Aku dan Kamu (Tuhan yang Tahu)


Ternyata Hijriah telah berganti. Perjalanan waktu benar-benar tak terasa dan tak ada yang dapat menghentikannya. Hampir seperempat abad hidup ditengah-tengah hiruk pikuk dunia ini, belum ada hal yang patut dibanggakan dari sosokku.
Aku masih menanti purnama hadir di sana. “Ahh, inikan bulan baru, bagaimana mungkin akan datang sang purnama?”. Otakku benar-benar sudah tidak rasioanal. Iya, semenjak kita dipertemukan takdir (tepatnya).
“Tuan!! Saya selalu memimpikanmu. Saya selalu merindukanmu. Saya selalu menangis karena dada saya sesak dengan hasrat tentangmu. Dapatkah kamu membantuku keluar dari semua permasalahan ini?”
“Tuan!! Aku bingung harus menyalahkan siapa? Aku tak tahu bagaimana awalnya hingga aku terpuruk karenamu. Padahal aku belum mengenalmu sedalam aku mencintaimu. Kita juga baru bertemu beberapa waktu lamanya, namun pantaskah jika sekejap saja saya langsung jatuh hati padamu. Sihir apa yang kamu gunakan sampai membuatku segila ini?”
Dalam gemerisik angin malam, dalam senyapnya suara jangkrik, selalu terngiang jelas suaramu, tawamu, dan pastinya kehangatan percakapan kita; dulu. Setiap detik dalam kesepian, selalu muncul jutaan pertanyaan yang aku sendiri tak dapat memahami maksudnya.
“Jika ada seribu lelaki, kenapa aku harus dipertemukan denganmu? Mengapa aku harus jatuh hati pada sosokmu? Mengapa harus kamu yang menyematkan luka dihatiku? Apakah cinta pertama selalu menyakitkan?”
Dan beberapa pertanyaan di atas sudah terlalu sering melekat di otakku, dan syaraf-syaraf motorikkku pun (mungkin) sudah sangat mengenalnya.
Beberapa waktu lalu, aku tak sengaja mendownload lagu D’Masiv ; Aku dan Kamu (Tuhan yang Tahu). Liriknya sangat menyentuh, bisa dibilang sama persis seperti perasaanku padamu.
Aku juga mulai memahami, bahwa Tuhan memiliki alasan khusus mempertemukan aku dan kamu. Dan tentunya rantai takdir kita juga tidak akan berakhir seperti saat ini.
Jika di sini yang kutahu hanya aku yang mencintaimu, cuma aku yang menangis terluka karena menyembunyikan perasaanku, sepertinya aku salah. Kamu tentu mengetahui perasaanku padamu. Kamu tipe pria sensitive yang akan mengetahui dengan cepat jika ada seseorang yang diam-diam mengagumimu. Meskipun kamu tidak pernah peduli terhadapnya, setidaknya kamu tahu (kamu jahat).
Sepertinya bila membahas perasaan panjang lebar, akan menorehkan kisah seperti dahulu. Akan ada air mata yang mengalir dengan sendirinya, akan ada luka baru yang tergores.
Aku juga lelah terus-menerus memperjuangkan kamu yang tidak peduli terhadapku. Kamu sudah memilih jalanmu dan aku juga akan memilih jalanku. Cepat atau lambat kita akan saling melupakan. Tidak!! Hanya aku yang harus melupakan kamu. Sedang kamu sudah sedari dulu melupakanku. Aku hanya molekul debu yang tak pernah kau hiraukan keberadaannya.
Bagaimanapun bentuk perasaanku terhadapmu, tentu hanya aku dan kamu yang mengerti dan Illahi juga yang Tahu. Karena seluruh perasaan, sebilah senyuman, sekecup luka, juga sebersit kejenuhan adalah anugerah dari Yang Kuasa, agar kita senantiasa mensyukuri nikmatnya.


21.09 | 041113
D’Masiv ; Aku dan Kamu (Tuhan yang Tahu)
Romansa yang terluka
Zatul Omaira