Jari ini masih terus saja melukis sajak-sajak
tentang kepedihan itu. Haruskah aku memiliki alasan untuk mencintaimu? Adakah
alasanmu untuk menyakitiku? Apakah aku harus berhenti mencintaimu karena kau
menyakitiku?
Pertanyaan itu terus saja muncul bersama derasnya
air mata yang terurai. Ku pandangi lekat-lekat langit senja, salahkah takdir
tak pernah menyatukan rembulan dan mentari? Atau mungkin kita harus menyalahkan
Tuhan karena rantai takdir yang begitu kejam? Ah, rasanya tidak pantas. Kita
terlalu egois melakukan hal itu. Meskipun kejam, aku yakin Tuhan punya rencana
yang lebih indah.
Kembali terkenang masa-masa indah bersamamu. Saat
itu, kau duduk di pasir putih yang terhampar indah. Bersama deruan ombak, kau
sibuk dalam duniamu. Entah apa yang terbentuk dari goresan-goresan itu, aku
bingung. Hanya bisa menyaksikan wajahmu yang tenggelam dalam halusinasi itu.
Meski baru sebentar mengenalmu, aku yakin cintaku
padamu tulus, bukan nafsu semata. Namun, tiap tatapan kita bertemu, aku tak
pernah melihat pancaran cinta dari sinar matamu. Ahhh, betapa bodohnya aku?
Mana mungkin kau bisa mencintaiku sebegitu cepat? Namun aku yakin, suatu saat
nanti pasti akan kutemukan cahaya itu.
***
Rintik hujan begitu deras, dinginnya
menyusup hingga ke ulu hati. Di balik jendela, ku pandangi bumi begitu
bersedih, entah apa penyebabnya? Aku enggan tuk memikirkannya. Di seberang sana
kulihat kau termenung di beranda kamarmu. Adakah yang mengganggumu? Wajahmu
begitu muram, andai mungkin ingin kau bagikan lukamu padaku, aku akan
menampungnya untukmu. Aku hanya ingin melihat senyum bahagia di wajahmu.
“Hei!!”
“Hai.
Ada apa?”
“Gak
ada apa-apa. Kok murung gitu?”
“Ahh...
Emm, aku hanya sedang butuh inspirasi. Itu saja?”
“Benarkah?
Inspirasi seperti apa yang kau butuhkan hingga begitu murung?”
“Aku
butuh kekuatan yang mampu mengubah inspirasiku melupakan masa lalu..”
“Hanya
itu? Bolehkah aku membantumu?”
“Tentu
saja.”
Pembicaraan hari ini berakhir dengan
sebuah senyuman termanis yang tak pernah aku jumpai sebelumnya. Betapa
bahagianya hati ini, hingga kupu-kupu pun tak mampu mengungkapkan manisnya madu
di bunga pheony.
Seperti sebelumnya, kau selalu
tenggelam dalam imajinasimu, bahkan tak menyadari kehadiranku. Rasa penasaranku
tak bisa terbendung lagi, aku benar-benar ingin tahu apa yang membuatmu
sedemikian larut pada kanvas itu.
Seperti biasa, unek-unek yang sudah
menggunung itu lagi-lagi hanya bisa kusimpan dalam hati, meski sebagiannya
tidak sengaja kucoret pada lembaran setia diaryku. Satu persatu kata kurangkai,
hingga tersusun menjadi paragraf yang indah dan berharap kita bisa saling
menunjukkan karya hati kita masing-masing suatu saat nanti.
***
Hari-hari berlalu tanpa jejak. Masih
dibangku taman yang sama. Kau duduk disana. “Ada apa? Mengapa mengajakku
bertemu? Akankah harapanku menjadi nyata?” Hatiku sangat gelisah, dan itu
membuat langkahku semakin gemetar saat semakin dekat denganmu.
Aku tak ingin kau menyadari
kegelisahanku. Semampu mungkin aku berusaha untuk tetap tenang. Dari kajauhan,
kau coba tersenyum saat melihatku, meski hanya sebuah senyuman datar. Aku pun
membalasnya dengan senyuman terbaikku.
Dan detik yang kunanti pun tiba.
Seminggu yang lalu, kita berjanji akan menukar dan memperlihatkan karya hati
kita tiap kali bertemu di taman ini, aku berharap tentangkulah yang terlukis
dikanvas itu, sama seperti aku yang mengurai kisah tentangmu di lembaran ini.
“Kamu
yakin, kita akan melakukannya sekarang?” ucapnya membuyarkan lamunanku.
“Ten...tentu
saja! Apakah kamu ragu untuk menunjuknya padaku?” jawabku seraya menatapnya.
“Tidak.
Hanya saja aku tak ingin orang lain merasakan kepedihanku.”
“Bukankah,
kepedihan itu akan terobati jika kita membagikannya?”
“Benar.
Terima kasih telah membantuku.”
“Jangan
ucapkan terima kasih. Aku tak suka mendengarnya.”
Kami pun saling memberikan karya
masing-masing. Aku masih menutup mataku, aku takut impianku semu. “Tidak! Aku
tak boleh memaksakan kehendakku.” Batinku menjerit.
Air mataku jatuh tak karuan, bibirku
kelu, lidahku kaku, hatiku hancur, remuk bersama jiwaku yang goyah. Semuanya
sirna, seperti diterpa halilintar di siang yang cerah.
Kanvas itu, tak sedikit pun
menggambarkan kehadiranku. Hanya ada sketsa wajah seorang wanita yang sangat
bersahaja. Kucoba menahan air mataku, saat ia menatapku. Sepertinya ia
menyadari ada luka yang teramat dalam pada hatiku, ia memelukku, seolah mencoba
menenangkanku. Sesaat kemudian….
“Maafkan
aku…” ucapnya sembari melepasku.
“Mengapa
harus minta maaf?”
“Aku
tahu, sejak dulu kau sudah menyimpan rasa padaku. Tapi, aku tak bisa
membalasnya. Maafkan aku? Dia terlalu sempurna untukku, hingga aku tak mampu
melupakannya. dia sudah melekat erat dalam relung asaku.”
“Aku
mengerti. Kau tidak bersalah, akulah yang seharusnya memohon maaf karena telah
lancang mencintaimu.”
“Tidak.
Harusnya aku yang minta maaf, karena tak bisa membalas rasamu?”
“Kau
tidak salah. Kau melakukan yang terbaik untuk cintamu, jagalah ia.”
“Tapi,
aku telah menyakitimu?”
“Tidak.
Meski aku sakit, ini adalah konsekuensi jatuh cinta. Dan ini tidak sebanding
dengan sakit yang kau rasakan saat menjaga cintamu.”
“Terima
kasih. Terima kasih atas pengertianmu. Aku berharap, suatu saat nanti kau akan
menemukan yang jauh lebih baik dariku.”
“Tentu
saja. Aku senang bisa mengenalmu (aku juga bahagia bisa mencintaimu).”
Walau perihnya tak tertahankan.
Tapi, kau dan cinta ini begitu berarti. Tak sedikitpun aku membencimu. Karena semua
ini telah memberiku pelajaran yang sangat berharga, bahwa setiap ada aksi pasti
akan diikuti oleh sebuah reaksi, positif atau negative.
Kamu mengajarkanku arti cinta yang
sesungguhnya. Kamu juga mengajarkan pengertian, pemahaman, dan kesabaran dalam
menjalin sebuah rasa. Cinta, tentu saja akan datang pada setiap orang, ia akan
menemukan pasangannnya, lalu berbahagia menjemput surga-Nya.
120713
Biarkan lukamu sembuh
perlahan
Zatul
Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar