(Disarankan membaca cerpen ini sambil mendengar lagu
Rando_Menunggu ^__^)
Sabtu
malam dalam kesepian yang menjuntai, ada setitik butiran yang mengenang di
sudut mata. Jemarinya dengan lembut menari di atas tuts-tuts piano tua itu. Ia
sangat menikmati alunan nada yang menggetarkan sukma. Dalam hening malam,
bersama rinai hujan yang membasahi bumi, ia mengenang masa silam yang
menyakitkan.
Aku hanya berdiri mematung di
beranda, menantikan ia membuka pintu dan menerima kehadiranku. Sembari kutatap
langit malam nan gelap, ada secercah harapan yang timbul dalam benak, sebentuk
keharusan yang wajib kupenuhi.
Dinginnya suasana alam dan iklim
yang tak menentu merembes hingga ke sumsum tulang. Kudekap erat tubuhku, lalu
terdengar jeritan pintu yang terbuka perlahan….
“Feri…..!!!”
“
Iya Kay??”, jawabku sambil tersenyum.
“Kamu
kenapa enggak ketuk pintu??”, ucapnya tergagap.
“Ah..
itu karena aku sangat menikmati permainan musikmu, jadi aku lupa mengetuk
pintu!!”, jawabku berbohong.
“Benarkah?
Tapi aku sulit mempercayainya!!! Ayo masuk??”
“Terserah
kamu saja..”, jawabku sambil melangkah masuk ke rumah kecil itu.
Mataku menyapu seluruh ruangan,
dekorasi dan reliefnya yang demikian unik membuatku terpana beberapa saat.
Bangunan ini sudah lama kusinggahi, dan aku sudah sangat mengenal seluk beluknya.
Sepuluh tahun yang lalu, saat aku
berumur delapan tahun ayah membuka usaha barunya di sini, kami pun pindah
kemari. Saat itu aku menangis, aku marah karena tak ingin meninggalkan
teman-temanku di Jogja. Tiba-tiba, seorang gadis dengan gulali di tangannya
datang menghampiriku dan memberikan gulali itu. Sebenarnya, aku ingin membuang
gulali itu, tetapi ketika kutatap matanya, kutemukan sebuah cahaya ketulusan
yang sebelumnya tak pernah ku lihat. Sejak saat itulah aku dan Kayla berteman
dan menjadi sepasang sahabat seperti saat ini.
Kayla
sepuluh tahun yang lalu sangat berbeda dengan Kayla saat ini. Dulu ia sangat
cerewet, pintar, dan tentu saja periang. Tapi, Kayla yang sekarang adalah Kayla
yang sebeku gunung es, hanya pada waktu tertentu saja akan kembali Kayla yang
penuh kehangatan.
Aku
masih terpaku pada sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding rumah itu. Ada
tiga orang yang sangat berbahagia di sana, juga ada senyuman yang selalu
kuimpikan terlukis di sana. Mata Kayla masih basah saat ia datang membawakan
secangkir teh hangat untukku.
“Ini
tehnya di minum Fer mumpung masih hangat…”
“Ehh,,
iyaa.. ngerepotin aja Kay….”
“Enggak
kok, jangan berlebihan!!”
“Heheh,
makasih ya Kay”
“Sama-sama.
Oh iya, tante sama om Adi gimana di Eropa? Sehat?”
“Alhamdulillah,
mama sama papa baik-baik aja. Emm,, Kay…??”
“Syukurlah…!
Iya, ada apa?”
“Aku..
mau bilang sesuatu sama kamu?”
“Tentang
apa? Ngomong aja Fer, aneh banget kamu..!!”
“Aku..
bakal lanjutin kuliah ke Paris, mama papa minta aku ke sana, mereka juga ngajak
kamu, kamu mau ikut kan???”
“Wahhh,,
keren banget ke Paris, dari kecil aku selalu berdoa agar bisa pergi ke sana,
mungkin doaku hampir dikabulkan. Tapi maafkan aku Fer, aku gabisa ikut ke sana,
aku mau di sini saja menemani nenek, kamu pahamkan?? Jika kelak kamu sudah
berhasil kita akan bertemu lagi di sini. Percayalah!!”
“Iya
Kay, semoga Tuhan menyiapkan rencana yang indah untuk kita. Kuharap kamu tidak
akan melupakan aku dan kenangan kita!!”
“Feri…!!!
Aku bukan seseorang yang mudah melupakan, apalagi melupakan sosok sahabat
terbaikku, tentu saja tidak!!”
“Iya,
aku tahu Kay. Itukan Cuma pengharapan aja. Aku pamit yaa.. salam untuk Nenek.
Aku akan berangkat besok. Doakan aku yaa??”
“Tentu
saja. Hati-hati!!!”
***
Gumpalan awan keemasan terlihat
sangat indah dari balik jendela pesawat. Aku tidak terlalu menikmati
perjalananku. Aku merindukan Kayla, aku tak bisa meninggalkannya begitu saja,
tapi takdir berkata lain.
Ada penyesalan yang membuncah
dihatiku. Ada kekecewaan yang teramat dalam pada diriku. Aku selalu menahan
perasaanku, mencoba mengalihkan dan tidak memperdulikannya, semua usaha bodoh
yang kulakukan untuk menutupi ketakutanku.
Aku tidak hanya ingin pamit pada
Kayla, aku juga ingin mengatakan perasaanku yang berubah terhadapnya. Sayang,
mulutku tertutup rapat saat akan mengatakannya, lidahku mengeras, saraf-sarafku
seperti berhenti bekerja dan kakiku melangkah begitu saja meninggalkan Kayla
dengan linangan air mata bahagianya (mungkin).
Lima
tahun bukanlah waktu yang singkat untuk melukis kenangan baru. Bukanlah hal
yang mudah saat aku harus membungkus kerinduanku dengan dinginnya susupan salju
musim dingin, melepas kegalauan bersama dedunan yang bebas melayang ketika
musim gugur menghampiri.
Aku termangu menatap rumah tua itu.
Warnanya yang kusam, tamannya yang tandus, segalanya tampak sangat berbeda, dan
lagi kekecewaan yang harus menemaniku. Aku kehilangan Kayla.
Kepergian nenek juga membawa Kayla
pergi, meskipun mereka pergi ke tempat yang berbeda. Aku juga tak tahu apakah
aku bisa menemukan Kayla. Mungkinkah aku dan Kayla juga akan ditakdirkan pada
rantai yang sama. Hanya Illahi yang dapat menjawab semua kemungkinan itu.
***
Aku mulai putus asa mencari Kayla.
Aku berusaha untuk melupakan perasaanku dengan mensugestikan diriku bahwa Kayla
bukanlah takdirku. Aku mulai membuka hatiku, tapi aku masih tak mampu
menggantikan sosok Kayla. Aku jenuh dengan segala hal yang menimpa hidupku. Aku
frustasi sampai berpikir untuk mengakhiri hidupku. Untungnya ada seorang ustad
yang berhasil menyadarkanku. Darinyalah aku belajar banyek tentang cara
memposisikan cinta terhadap insan.
Di tengah hiruk pikuk mesin
kendaraan, aku masih mengadukan hatiku pada Illahi. Aku memohon untuk diberikan
petunjuk takdirku. Aku memohon agar Kayla selalu sehat dimana pun ia berada dan
semoga ia selalu dalam lindungan-Nya.
Sebelum aku berangkat untuk tugas di
Bangka Belitung, aku menyempatkan diri bertemu Ustad Aji yang sudah kuanggap
seperti keluargaku sendiri. Aku pamit dan mohon doa restu darinya.
***
Gemercik ombak yang menembus karang
membuat hatiku semakin pilu, namun kesejukkan warna biru yang terhampar luas
mampu menetralisirkan segala kesedihan. Camar menari dengan riangnya bersama
hembusan angin senja menanti kepergian sang mentari.
Guratan kemerahan di cakrawala
mengingatkanku akan kenangan indah bersama Kayla. Saat kami bersembunyi di
balik bukit untuk melukiskan keindahan senja, ia rela dimarahi nenek demi
mewujudkan keinginanku (aku masih belum melupakanmu).
Detik-detik kepergian sang surya
memang telah mendekat, hanya dengan hitungan jari ia akan segera tenggelam,
menggantikan tempatnya pada rembulan, dan beristirahat sejenak untuk melepas
kerisauan.
Di
selatan, kulihat seorang gadis juga sedang menikmati kepergian sang mentari. Ada
perasaan berbeda dalam diriku saat melihatnya. Aku tak pernah bertemu dengannya,
tapi merasa mengenalnya. Batinku mendorong langkahku yang kaku tuk
mendekatinya. Aku terus berjalan tanpa tahu apa yang akan kulakukan. Langkahku
semakin cepat, aku seperti tak bisa mengendalikan diriku.
Semakin aku mendekatinya, semakin
kencang detak jantungku, bahkan aku tak lagi bisa merasakan irama normal pada
denyut nadiku. Kutarik napas dalam-dalam. Ku coba menyusun kalimat terbaikku
agar ia tak terkejut dan mencurigaiku.
“As..salamu..alaikum??”,
ucapku terbata.
“Waa..
alaikumsalam!!”, jawabnya sambil menoleh ke arahku.
Aku terperangah saat melihat
wajahnya. Gadis itu,, gadis itu adalah seseorang yang selama ini meracuni
jiwaku. Perempuan yang membuat mataku sulit terpejam dalam malam-malam sunyi.
Sosok yang telah membekukan hati dan jiwaku.
“Kayla…..!!!
Kamu Kayla???”, ucapku tak percaya.
“Iya,
aku Kayla!! Kamu lupa sama aku??”
“Tentu
saja tidak. Hanya saja kamu berbeda, sangat berbeda!!”
“Berbeda?
Apanya? Apa aku terlihat lebih jelek??”
“Tidak
Kay, kamu anggun dengan jilbabmu.”
“Benarkah??
Lalu, ke.. kenapa kamu di sini??”, jawabnya buru-buru.
“Iya!!
Aa.. aku sedang melakukan penelitian. Kamu?”
“Aku
menetap di sini sekarang!!”
“Lalu,
kenapa kamu pergi tanpa memberitahukanku Kay? Setega itukah kamu pada
sahabatmu??”
“Maafkan
aku Fer, aku hanya ingin membuka lembaran baru di sini, kepergian orang tuaku,
lalu kepergian nenek membuatku sangat terluka. Aku tak ingin kau juga pergi
meninggalkanku seperti mereka, maka biarlah aku yang pergi..”
“Aku
tidak akan meninggalkanmu. Aku sudah mengatakannya padamu, lalu kenapa harus
mengingkari janjimu Kayla?”
“Entahlah..
aku tidak bisa berfikir jernih saat itu. Yang kutahu, aku hanya harus pergi
dari masa lalu…”
“Kamu
egois!!!”
“Apa??
Atas dasar apa kamu mengatakan aku egois??”
“Aku
punya banyak dasar yang kuat atas keegoisanmu Kay!!”
“Oh
yaa.. tolong jelaskan padaku???”
“Baiklah.
Jangan menangis dan jangan menyesal jika ini menyakitkan!! Kamu tau?? Kamu bilang
kamu pergi untuk mengubur masa lalu, tapi kamu tidak pernah tahu ada yang
terluka dengan kepergianmu. Kamu mungkin bahagia dengan kenangan barumu,
sedangkan di sana, ada seseorang yang hampir melupakan keimanannya karena
terlalu merinduimu. Kamu tidak pernah menyadari itu, karena kamu hanya
memikirkan dirimu. Kamu hanya peduli terhadap lukamu. Kamu selalu menganggap
bahwa hanya kamu yang memiliki masalah terumit di dunia ini. Kamu egois Kay!!!!”
“….”
Kayla hanya terdiam bersama tunduk
dalamnya. Aku bisa melihat beberapa buliran air mata yang jatuh membasahi pasir
putih. Suasana kian mengelam, angin senja tak lagi berhembus sepoi-sepoi. Aku
mencoba menenangkan emosiku, dan Kayla masih bisu dalam tunduknya.
“Kayla…..”,
lirihku.
“Maafkan
aku Fer, aku tahu aku egois, tapi aku tak bermaksud menyakiti siapapun..”
“Ini
bukan salahmu, hanya saja waktu dan keadaan yang memaksamu seperti ini…”
Kayla masih enggan mengangkat
wajahnya. Aku ingin memeluknya, aku ingin menghapus lukanya, tapi aku bukan
siapa-siapa.
“Fer..
bolehkah aku bertanya padamu?”
“Apa
itu?”
“Tolong
jawab dengan jujur, apa maksud kata-katamu tadi? Siapa yang terluka karenaku?”
“Ii..
itu.. dia…”
“Siapa
Fer??? Tolong jawab??”, bentak Kayla sambil menatapku.
“Aku.
Aku yang terluka karena keegoisanmu.”
“Apa
maksudnya ini Fer?”
“Iya
Kayla.. aku yang telah kamu lukai, tidak, bukan kamu, tapi kebodohankulah yang
telah melukai hatiku sendiri.”
“Kebodohanmu?
Aku tidak mengerti? Tolong jelaskan semuanya padaku, aku tidak ingin ada
rahasia dan kesalahpahaman diantara kita lagi!!”
“Kayla…!
Maaf jika ini membuatmu benci terhadapku, tapi kamu harus tahu aku telah
menyimpan rasa ini sejak lama padamu. Aku ingin mengatakannya saat aku pamit
dulu, tapi aku tak punya nyali segunung untuk mengungkapkannya. Aku hanya terus
memendam dan berharap kamu akan memiliki rasa yang sama padaku. Dalam doaku
selalu ada namamu.”
“Feriiiii….!!!
Kenapa kamu melakukan itu? Kenapa kamu tega membuatku menunggumu? Kenapa Fer??”
“Menunggu
aku? Apa maksudmu?”
“A..
aku menunggumu. Aku berharap kamu adalah rantai takdir kebahagiaanku. Tapi,
segalanya pupus ketika kamu memilih Paris. Aku sakit ketika kamu pergi. Aku
berharap kamu akan berpaling dan menatapku untuk terakhir kalinya, tapi aku
salah, kamu pergi seakan tak membawa beban. Aku kecewa, dan memilih pergi
diam-diam.”
“Maafkan
aku Kayla.. mafkan aku!! Aku tak pernah ingin menyakitimu!!”
“Maafkan aku juga…! Aku menyesali segala
kecerobohanku.”
“Tak
ada yang perlu disesali, jangan merasa bersalah, semuanya belum terlambat..!!
Kini kita sudah saling mengetahui, kita hanya perlu merajut takdir seperti yang
kita mau, biarkan Illahi yang menentukan polanya.”
“Iya…!
Aku yakin, aka nada bentuk terbaik yang telah direncanakan Illahi untuk kita…”
“Tentu
saja!!”
Hari itu, semua kenangan lalu telah
menyatu dalam masa depan yang akan terbingkai rapi. Meskipun fajar dan senja
tidak akan pernah bersatu, namun keindahannya akan selalu membahagiakan insan
yang terluka. Seperti halnya sekilas kesabaran dalam menanti yang membuahkan
kebahagiaan bersama air mata haru yang jatuh bagai derasnya percikkan Niagara.
22.00 | 281113
Jika menanti
adalah pilihan….
Zatul Omaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar