Selendang Pelangi untuk Annisa



Mega merah menggantung di indah di angkasa. Tergores berbagai keluh yang tampak pada silaunya hamburan sorot tajam sang mentari. Menanti kedatangan senja bersama lambaian nyiur dan riang gembira berlian yang berlarian.

Tak banyak yang dapat kulakukan untuk menemani kesepian, hanya menanti senja, menanti sang malam, dan menanti sang fajar untuk mengobati rindu yang terpendam dalam. Hanya ayat-ayat indah dari kitab cinta yang dapat kulantunkan untuk-Nya. Dan hanya air mata yang dapat menjawab ketulusanku.

“Nisa…”.

“Iya Ummi, ada apa?”, jawabku sembari memalingkan wajah ke hadapannya.

“Apa yang kamu lakukan?”

“Seperti biasa mi, menitip rindu untuk-Nya pada senja..”

“Menitip rindu itu dengan taqwa sayang, bukan pada senja. Angin sore tidak baik untuk kesehatan, ayo masuk!!”

“Baik Ummi…”

Aku pun menuruti kata-kata Ummi. Tidak seperti kebanyakan anak-anak seusiaku yang senang membantah perkataan ibunya, aku hanya menurut saja. Terkadang, timbul rasa ingin untuk member pendapat, aku juga ingin pendapatku dihargai, namun keadaan membuatku mengurung niat itu. Aku hanya diam dan menangis dalam hati.

Aku lupa, perkenalkan namaku “Nurul Annisa” (cahaya wanita), ummi memberi nama ini untukku berharap agar aku akan menjadi wanita yang paling bercahaya kelak, cahaya yang membuat banyak orang merasa teduh dengannya seperti cahaya pelangi.

Aku memang tidak sesempurna gadis lainnya. Dengan segala keterbatasan yang kumiliki, aku masih bisa tersenyum, aku selalu menghargai pemberian Tuhan, karena hidup adalah anugerah. Biasanya, sekitar saat ini, para remaja di lingkungan rumahku sedang mengikuti pengajian di majlis taklim di Mushalla. Aku juga sangat ingin hadir dan bergabung bersama mereka. Sayangnya, kekuranganku menghentikan keinginan itu.

Ini bermula ketika aku terserang demam tinggi ketika berumur 5 tahun. Saat itu kami masih tinggal di rumah nenek yang jauh dari klinik kesehatan. Karena mendapat pertelongan terlambat, kedua kakiku lumpuh dan tak dapat difungsikan. Aku melewati lima belas tahun di atas kursi roda sembari menatap kehebatan waktu. Tak ada yang harus disalahkan, ini takdirku.

Mungkin Tuhan menyayangiku lebih dari siapapun, sehinnga ia juga menguji keimanan dengan memberikan ku sepotong hati yang hanya bisa menerima hal-hal baik saja, jika sedikit terganggu, segalanya akan berubah kekuningan (Lever). Aku bahagia dengan hidupku. Aku bangga dilahirkan menjadi diriku, memiliki orang tua yang mencintaiku penuh kasih.
***
“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam. Eh nak Fadil, ayo masuk dulu.”

“Baik tan..”

“Ada apa pagi-pagi sekali datang kemari??”

“Ada sedikit kepentingan dengan Nisa, tan. Oh iya, Nisanya ada?”

“Ohh.. ada, di kamarnya. Sebentar tante panggilkan, mau minum apa?”

“Gak usah repot-repot tan..”

Dari balik pintu kamar ku dengar percakapan ummi dengan seorang lelaki yang sangat ku kenal. Ya, Fadil. Teman masa kecilku hingga saat ini. Persahabatan kami telah terjalin kurang lebih sepuluh tahun, sehingga aku dan Fadil sudah sangat mengenal sifat masing-masing.

Tak lama kemudian, ibu memanggilku dan meminta agar aku menemui Fadil. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan denganku. Ada rasa curiga dengan kedatangan Fadil pagi ini. Tidak biasanya ia mendiskusikan sesuatu hingga terdesak seperti ini. Daripada semakin penasaran dan seuzhon, aku pun menemui Fadil di ruang tamu.

“Assalamualaikun Dil..”, sapaku diiringi sebuah senyuman.

“Waalaikumsalam Sa, apa kabarnya kamu?”

“Tumben nanya kabar, Alhamdulillah aku sehat kok.”

“Yah, kan kita udah hampir sebulan gak ketemu, jadi wajar donk aku nanya kabar kamu.”

“Oh iya ya, kemana aja kamu sebulan ini?”

“Ada sedikit kerjaan Sa, maklum calon orang sibuk.”

“Haha, sibuk natap ‘timeline’ kamu!!”, ledekku.

“Bukan Sa, aku sibuk mikirin kamu, *Ehh”

“Terserah kamu aja Dil. Oh iya, tadi ummi bilang kamu mau bilang sesuatu penting sama aku, apa itu?”

“Oh itu.. Kamu jangan terkejut ya??”

“Apaan sih?”

“Aku.. aku.. aku…”

“Aku apa Dil? Jangan buat aku penasaran, nanti penyakit aku kumat, terus mati mendadak, gimana?”

“Ehh,, jangan. Kamu ngomong apasih Sa!!”

“Ya, makanya cepetan kasih tau aku???”

“Iya, iya. Aku lulus seleksi pertukaran pelajar ke Jepang selama enam bulan.”

“Apa? Kamu serius Dil?”

“Iya sa, aku serius!!!”

“Selamat Dil, akhirnya cita-cita kamu pergi ke Jepang kesampaian juga. Selamat ya…”

“Hehe, makasih Sa. Tapi, aku sedih …”

“Lho, sedih kenapa? Kan kamu udah lulus ke Jepang?”

“Sedih, karena aku harus ninggalin sahabat aku di sini..”

“Ya ampun, Dil. Kamu ini jantan atau betina sih *ehh*, semacam mau pergi selamanya aja. Tenang-tenang, aku gak akan melakukan hal besar apapun sebelum kamu pulang. Oke!!”

“Bukan itu, Sa. Tapi, yaudahlah gak usah dibahas lagi, seneng bisa lihat kamu senyum sebahagia ini. Oh ya, aku berangkat besok, doakan aku ya??”

“Pasti Dil, aku pasti doain kamu. Kamu mau hadiah apa untuk ulang tahunmu nanti, karena hari ulang tahunmu setelah aku pulang?”

“Apa ya? Aku mau pulang dengan selamat aja Dil.”

“Kalau itu insyaallah. Ayo donk, kasih tau aku benda apa yang kamu mau?”

“Baiklah, aku mau selendang pelangi, bisa kamu dapetin buat aku.”

“Insyaallah pasti bisa. Ke ujung dunia pun akan ku cari kalau itu untukmu Sa.”

“Kamu yakin? Ini bukan sekedar selendang biasa, aku ingin selendang yang persis seperti pelangi di angkasa!!”

“Aku pasti akan mendapatkannya untukmu Annisa (insyaallah).”

“Dasar kamu.”

“Yasudah, aku pamit ya Sa. Jaga diri, jaga kesehatan, dan tunggu aku pulang, oke!!”

“Iya, kamu juga. Jika ada umur panjang jangankan kamu pulang, kamu tua pun akan ku tunggu.”

“Gayamu. Ya sudah aku pulang ya, salam untuk ummimu, dan bilang aku mohon restu dan doanya. 

Assalamualaikum..”

“Iya, hati-hati. Waalaikumsalam”, jawabku sembari mengantar kepergian Fadil.
Hingga punggungnya menghilang tertutupi rumah-rumah yang menjulang tinggi, aku masih mematung di beranda. Ada rasa kehilangan saat aku harus melepasnya pergi. Hatiku perih, seakan teriris sembilu.

Ada rasa yang berbeda selama setahun terakhir ini. Rasa sayangku pada Fadil tidak lagi sebatas rasa sayang sebagai sahabat. Ini lebih dari perasaan biasa. Benar kata orang, tidak ada persahabatan sejati antara seorang lelaki dengan seorang perempuan. Meskipun ada, pada akhirnya akan menimbulkan gejolak cinta di antara keduanya atau mungkin pada salah satu dari mereka.

Aku sudah cukup lama menyadari kehadiran bibit cinta itu. Namun, aku enggan menaggapinya. Biarlah ia menjadi lukisan hati saja tanpa mengirangi kecintaanku pada Rabbi. Aku ingin menjadi pengganti bunda Rabi’ah. Aku ingin memberikan rasa cinta terbesarku pada Illahi. Karena aku tahu, 
Ia amat mencintaiku, hingga tak pernah melepaskan pelukan-Nya ketika aku menggigil kesakitan.

Walaupun pada akhirnya, aku tak bisa bertahan melawan nafsu yang begitu kuat. Setidaknya, cukuplah kusimpan cinta ini rapat-rapat, seperti cinta Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib, saling mencintai dalam diam, namun dipertemukan dan disatukan jua oleh keridhaan-Nya.

***
“Nisa…, Annisa.. bangun?”

“Ada apa tante? Nisa kenapa?”

“Nisa pingsan 3 hari yang lalu Fa, dan dia belum sadar juga sampai saat ini!”

“Sabar bunda, Nisa pasti kuat. Dia akan bangun untuk kita!!”

Dalam tidur panjang, aku masih bisa mendengar suara ummi melafadzkan ayat-ayat rindu-Nya untukku. Hatiku perih kala mendengar isakkannya. Aku ingin bangun untuk memeluknya, menghapus mutiara yang jatuh di sudut matanya. Tetapi, sia-sia saja. Sarafku sedang malas untuk bekerja (mungkin terlalu lelah). Namun, aku masih bersyukur, karena ada Ifa (sepupuku) yang setia menemani ummi walau ia tak selalu bisa setiap saat.

Tubuhku terasa sangat ringan, seakan jiwa ini akan pergi meninggalkan jasad. Tetapi, robot-robot medis itu memaksaku untuk bertahan sedikit lebih lama lagi, mungkin saja untuk menanti kepulangan Fadil atau menunggu genapnya usia duapuluh tahunku. Entahlah, ini rahasia Illahi, aku hanya bisa mendeskripsikannya dalam mimpi bawah sadarku.

Tiba-tiba saja, ada derapan langkah yang mendekat menghampiri tubuhku…

“Nisa sayang, ini ummi nak. Tadi pagi Fadil menelpon ummi, katanya dia pulang hari ini, dan insyaallah akan tiba nanti malam. Kamu harus bangun, Fadil membawakan selendang pelangi untukmu.”, kata ummi sambil memegang erat tanganku.

“(Iya ummi, insyaallah Nisa akan bertahan. Nisa akan melupakan rasa sakit ini sejenak, untuk menghargai perjuangan sahabatku. Juga perjuangan ummi. Nisa mohon, ummi jangan nangis lagi, Nisa semakin merasa bersalah melihat air mata ummi. Kasian Ifa yang harus menemani ummi, dia juga butuh istirahat!!)”

Aku hanya bisa menjawab dalam hati. Meskipun ummi tak dapat mendengarnya, tapi Allah tahu jawabanku. Tak lama kemudian, aku melihat ada cahaya yang sangat menyilaukan hadir dihadapanku. Beberapa saat kemudian terlihatlah kaki dari seorang laki-laki yang berpakaian putih, berwajah bersih, dan tersenyum datang menghampiriku. Iya, abi.

Aku masih terpana melihat kehadirannya. “Kenapa tiba-tiba abi datang menghampiriku. Bukankah seharusnya abi sedang berbahagia di istananya (red; syurga)?”. Ada banyak pertanyaan yang terus bermain di otakku. Namun, belum sempat aku menjawabnya, abi berkata padaku…

“Nisa… Kenapa kamu melamun melihat abi? Kamu tidak senang abi datang padamu?”

“I..iya abi. Nisa senang abi, Nisa sangat senang. Tapi, kenapa abi kemari?”

“Abi ingin menjemput kamu? Abi ingin membawamu ke suatu tempat yang penuh kenikmatan, tapi sebelumnya abi ingin bertanya padamu…”

“Apa itu abi?”

“Apakah selama ini kamu telah mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya nak? Apakah selama ini kamu pernah mengeluh atas takdirmu?”

“Insyaallah abi, Nisa mengerjakan seluruhnya dan menjauhi yang terlarang. Untuk pertanyaan kedua, maafkan Nisa abi, terkadang timbul rasa iri dan penyesalan dalam diri Nisa atas takdirku, terkadang juga Nisa merasa tidak adil pada hidup Nisa, tetapi Nisa menyesal dan segera memohon ampun pada Allah. Apakah Nisa masih boleh mengikuti abi?”

“Jika itu jawabanmu, siapkah kamu pergi sekarang?”

“Sekarang abi? Nisa ingin sekali pergi, tapi bisakah abi menunggu sebentar. Ada seseorang yang sedang berjuang untuk menemui Nisa.”

“Baiklah anakku.. Abi akan menunggumu, abi akan kembali nanti, bersiap-siaplah.”

“Baik abi…”
Bayangan abi pun menghilang. Aku mencoba membuka mataku, samar-samar kulihat cahaya lampu, lalu beberapa wajah orang-orang yang ku kenali. Ifa, ummi, beberapa temanku, dan seseorang yang membawa kado untukku (Fadil).

“Nisa.. Kamu sudah sadar nak. Alhamdulillah ya Allah…”, ucap ummi diiringi tetesan air mata dan peluk hangatnya hinggap di tubuhku. Ifa dan yang lain juga melakukan hal yang sama, kecuali Fadil, yang tampak muram di sudut ruangan.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku masih butuh energy yang lebih besar untuk menggerakkan bibirku. Lalu ummi mempersilahkan Fadil menemuiku.

“Assalamualaikum Sa.. Apa kabar?”

“Wa..aa.alaikumsalam”, jawabku diiringi senyuman.

“Kamu kok sakit lagi sih? Kamu janji sama aku untuk jaga diri, tapi kenapa kamu seperti ini sekarang Sa?”

“Ini takdir Tuhan Dil..”

“Aa.. aku membelikan ini untukmu. selendang pelangi seperti yang kamu minta, meski tidak sepenuhnya bisa menyerupai pelangi-Nya. Selamat hari lahir, semoga Allah senantiasa menjagamu..”, ucapnya sembari mengeluarkan sehelai selendang dari kotak merah muda.

“Terima kasih, Dil. Aku telah merepotkanmu. Tetapi, aku merasa tidak dapat memakai selendang ini, jadi simpanlah sebagai kenangan persahabatan kita.”

“Kamu enggak boleh ngomong gitu Sa. Kamu akan sembuh. Kamu pasti bisa bertahan.”

“Aku tidak yakin Dil. Aku merasa takdirku sudah dekat. Tolong panggil ummi dan yang lain kemari…”

Tanpa menunggu lama, mereka pun datang mengerumuni tubuhku. Kutatap wajahnya satu persatu. Kulekatkan erat dalam memoriku. Sepasang tetesan pun mengalir dari sudut mataku.

“Ma..afkan Nisa ummi, Ifa, teman-teman, dan Fadil. Nisa mohon maafkan semua kesalahan Nisa.”

“Nisa.. ummi sudah memaafkanmu nak.”, jawab ummi seraya terisak.

“Ummi.. tadi abi datang menjemput Nisa, setelah Nisa meminta sedikit waktu beliau pergi. Dan sekarang abi telah kembali. Nisa harus pergi, tolong ikhlaskan Nisa…”, ucapku dengan nafas yang mulai tersenggal.

“Mba Nisa, jika memang ini yang terbaik untuk mba dan kita semua, kami ikhlas mba, kami telah memaafkanmu..”

“Benar Sa, aku ikhlas. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintaimu, aku sudah mencintaimu sejak dulu, dan aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun. Maafkan aku, karena memberitahumu saat ini…. Maafkan aku Sa..”, ucap Fadil menahan tangisnya.

“Maafkan aa..ku, Dil. A..ku tak bi..sa mene..pati janji..ku, ja..ngan cintai aku berlebihan, cukup..lah cin..tai Allah. Um..mi.. maafkan Nisa, tak bisa menemani ummi lebih lama.. lagi, tolong jaga ummi Ifa..”

“Nisa.. Ummi ikhlas nak…”

“Iya mba, aku pasti akan menjaga bunda tanpa harus mba minta. Bunda adalah ibuku setelah mama..”

Aku melihat abi mendekat, menarik tanganku dan membawaku. Aku masih berpaling dan merasakan 
tubuhku semakin ringan. Desahan nafasku pun telah sampai diujung hela, ketika abi membawaku melewati cahaya itu.
***
Cinta…
Selalu datang kepada siapa saja tanpa mengenal waktu. Ku kira, aku tak pantas mendapatkan cinta. Ketidaksempurnaanku telah menceraikan asaku akan kebahagiaan. Tuhan memang adil, ia menitipkan cinta kepada siapa saja, bahkan seluruh makhluk hidup pun dapat bertahan karena cinta. 

Ya, cinta adalah segalanya.. semua hal indah bagi mereka yang dapat menjaga kesuciannya.
Aku memang tidak sempurna. Tetapi, aku ingin cintaku untuk seseorang sempurna, sesempurna cinta Rabi’ah pada Illahi. Aku tidak ingin mengumbar kepedihanku saat rindu ingin bertemu dengannya membeku di hati. Aku juga tidak ingin ia tahu akan rasaku, jika pada akhirnya kita saling terluka. 

Biarlah, Rabbi, aku, pena, kertas, dan pelangi senja ini saja yang tahu. Biarlah ia menganggapku sebatas sahabat sebagaimana ia memahami anggapanku untuknya pula. Yang terpenting, cintaku untuknya tidak melebihi besarnya cintaku pada Illahi, ummi dan abi, juga keluargaku…
Pahamilah, jika suatu saat nanti kamu membacanya……
Membalut asa dengan dekapan pelangi…
Nurul Annisa

Nisa, kamu tahu betapa rindunya aku padamu. Catatan kecilmu, hanya itu yang dapat kulihat kala kerinduanku memuncak. Dan selendang pelangimu, aku masih menyimpannya. Aku enggan meberikan untuk siapa pun. Itu adalah kenangan terakhir kita.

Aku masih bingung mengapa kamu tidak pernah mengatakan jika kamu juga mencintaiku. Tapi, pilihanmu adalah pilihan yang tepat. Dengan begitu kita bisa saling menjaga diri, dan menyimpan rasa ini sebagai kenangan terindah.

Memang tidak ada Annisa yang paling sempurna selain dirimu. Namun, kau harus tahu, meskipun kini kau tak di sisiku, aku akan selalu mencintaimu. Aku tidak membagi cintamu, aku juga tidak melebihkan rasa cinta ini melampaui kecintaanku pada Illahi.

Di sini, bersama nyanyian camar dan deru ombak menghantam karang, ada pelangi senja yang menemani kebahagiaanku dengan Annisa (seseorang yang tak dapat menggantikanmu, tetapi juga menyayangiku sepertimu).

Ketidaksempurnaan bukanlah ukuran untuk sebuah keadilan..
Untuk mereka yang berbahagia dengan segala kekurangan….
141213/20.30
Zatul Omaira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar