Rasa Yang Tertinggal


Sedari hati saling bertautan…
Berjuta warna hadir menghiasi langit kehidupan…
Menyelami jiwa yang penuh kedamaian…
Binaran bola mata itu membuat jantung tak lagi berirama…
Degupnya kencang, membiarkan rusuk lelah dalam keabnormalan…
Aku tak memiliki keberanian yang amat besar,
Untuk menyusuri lorong-lorong sunyi di hatimu…
Meski gemintang paham akan rasa yang saling bergenggaman…
Mata ini tak mampu menatapmu terlalu dalam…
Kutakut tak menemukan bayangku di samudera jiwamu…
Kita bukanlah batara dan batari, yang berbahagia diakhir cerita…
Juga bukan Panji dan Candra Kirana, yang bersatu dalam genggaman takdir…
Kita hanyalah penggalan dari beberapa kisah yang menyedihkan…
Kita seperti minyak dan air…
Bersama, namun tak menyatu…
Terpisah tanpa hijab jua…
Dan aku, mungkin hanya seonggok debu yang terdiam di sudut hatimu…
Membiarkannya terbalut selimut kegundahan…
Dalam ruang asa, dalam kehampaan yang menyesakkan…
Bersama perjalanan waktu yang tak jenuh…
Dalam bingkisan tasbih yang terus mengalir dari bibir…
Dalam sejuta harapan yang terbalut pedih…
Kutitip rasa yang tertinggal Pada-Nya….
Jika kelak kutemukan jalanku…
Dalam hangatnya kesucian kasih…
Rasaku kan kembali….

Senandung Senja Senin…
240114
Zatul Omaira

Semanis Senyummu


Dia masih terdiam di bangku taman itu. Masih bergeming dalam rinai air mata. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Membiarkan ia melepas segala gundah bersama mentari yang kembali ke peraduannya.
Azan magrib telah didendangkan. Sahut menyahut suara para muadzin memanggil umat manusia menghadap Sang Khalik sejenak. Meski berat, kucoba langkahkan kaki ini meninggalkan temanku yang masih terpekur bisu.
***
“Lelaki bodoh!!”, gumamku dalam hati.
Bagaimana mungkin ia tega menyakiti wanita setulus temanku ini? Apakah ia tak dapat melihat binaran cahaya cinta yang sangat tulus pada matanya? Apakah ia tidak bisa membedakan mana cinta dan mana nafsu? Benar-benar pria yang bodoh; terlalu naïf.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati sahabatku itu. Aku ingin memeluknya, namun aku tak mampu. Aku tak sanggup mendengar dan melihat kehancurannya, karena aku juga pernah mengalami hal sepahit itu. Dan aku tak ingin mengulang masa lalu. Aku tak bisa mengenang apapun yang pernah kurasa dulu.
***
Suatu hari, ketika kita sedang menikmati kemesraan fajar. Dengan wajah berbinar, ia berkata padaku, “Aku sangat mencintainya. Aku ingin memeluknya, aku juga ingin memilikinya. Merenda kemesraan, semesra sinsingan fajar.”
“Apakah kau yakin? Apakah kau percaya jika ia juga mencintaimu sedalam kau mencintainya?”, tanyaku tanpa menatap wajahnya.
“Entahlah…, aku tak punya keyakinan yang begitu besar terhadap perasaannya. Aku juga tak dapat melihat binaran cinta di bola matanya. Namun, sikapnya menggambarkan bahwa ia juga mencintaiku.”, jawabnya penuh harapan.
“Hmmm… aku tak tahu harus mengatakan apalagi. Setidaknya, janganlah terlalu percaya pada cinta. Jangan cepat mengambil kesimpulan karena perhatiannya. Patah hati itu sangat menyakitkan teman..”, ucapku berlinang air mata.
“Aku tahu itu. Tapi, aku akan tetap tegar. Aku akan menerima semua konsekuensinya…”, jawabnya sembari tersenyum padaku.
Kini, semuanya telah berakhir. Senyum manis di hari itu telah sirna untuk selamanya. Hanya ada duka yang amat dalam terlukis pada wajah itu.
Aku mencoba menghampirinya. Mencoba untuk memeluknya yang sedari waktu memeluk luka. Ia masih tersenyum, meski senyum itu pahit. Ia mencoba menyembunyikan lukanya. Namun, dayanya tak lagi sekuat dulu. Ketegarannya hancur berkeping-keping. Dan puing-puing kesabarannya entah kemana dibawa angin.
Dalam rinai air mata kepedihan, dengan suara yang tercekat, ia mulai meluapkan emosinya. Melimpahkan semua kepahitan pada semesta. Padaku juga.
“Kau benar teman, patah hati itu memang sangat menyakitkan. Bahkan rasanya hingga nyawa seperti ingin meninggalkan raga.”
“Lantas, kau menyesal pada pilihanmu?”, tanyaku hati-hati.
“Tidak! Aku tidak pernah menyesal atas pilihanku. Aku tidak penah kecewa memilih jalan ini, hanya saja aku terlalu rapuh terhadapnya.”
“Ya, semua orang tentu saja akan berkata sepertimu (juga aku). Namun, kau harusnya menjadikan ini sebagai pelajaran terbaik dalam hidupmu, agar kau tak lagi tersesat.”
“Benar. Aku akan menjadikannya pelajaran yang paling berharga. Tetapi, kalimatnya terlalu menyakitkan. Hingga ragaku seakan remuk ketika ia menampar hatiku dengan kalimat pahit itu.”
“Benarkah? Bagaimana bisa ia membuatmu sedemikian terluka?”
“Ia berkata dengan lembut, namun amat menyakitkan : Maaf, aku tidak pernah mencintaimu. Aku tidak bisa mencintaimu, dan apa yang kulakukan selama ini hanyalah paksaan dari mereka yang ingin menyatukan kita. Maafkan aku!!”, tangisnya pecah setelah mengulang kembali kalimat itu.
Aku hanya bisa memeluknya. Membiarkan ia membarakan segala amarahnya pada air mata. hatiku tak dapat menerima perlakuan pria itu (lebih tepatnya pecundang brengsek itu).
***
Semua berlalu begitu saja. Waktu terus berjalan. Dan kepahitannya kini berubah manis, semanis senyumnya.
Untuk seseorang yang terluka amat dalam..
Dia yang mampu mengubah maja semanis tebu….
Zatul Omaira

Melepasmu dengan Luka


Dear My Ex Moodbooster…

Selamat malam “Prince Charming” yang mungkin sedang sibuk dengan tugas-tugas studimu. Atau mungkin sedang tertawa menyaksikan bintang dengan seseorang. Ahh, apapun yang sedang kau lakukan, aku hanya ingin menyapamu melalui beberapa huruf.

Terima kasih, karena telah menjadi “moodbooster” untukku beberapa waktu yang lalu, tepatnya saat masa-masa perjuangan yang mendebarkan. Ada yang masih mengganjal erat di hatiku. Sesuatu yang terlalu sulit terhapus dari memori, dan itu kamu, bayangmu, kedekatan kita, semua yang terjadi di masa lalu.

Tuhan sepertinya memang telah menulis scenario untuk kita perankan, kamu dan aku menjadi tokoh protagonis, namun kamu tidak sepenuhnya berperan menjadi orang baik, kamu terkadang menjadi orang jahat (karena kamu tidak pernah membaca isi hatiku).

Tuan..!! Aku masih normal dan sangat sadar, kau memang “Prince Charming”, lelaki impian semua wanita, dan aku cuma “upik abu”, dan dunia tentu saja kita tak akan menerima kita bersanding. Namun, bukankah Cinderella juga seorang “upik abu”, tetapi ia bisa hidup bahagia dengan pangerannya? Salahkah ketika aku jatuh di jiwamu? Mungkinkah kita akan berakhir bahagia seperti dalam dongeng Cinderella?

Ahh, lagi lagi aku menghayal terlalu tinggi, hingga sangat kesakitan ketika terjatuh membentur ranjau-ranjau yang kau siapkan. Donegeng tetaplah dongeng, terlalu mustahil untuk terwujud di dunia nyata.

Tuan!!
Meskipun kutahu, memimpikanmu bukanlah hal yang baik untuk kesehatan rohaniku, tapi datanglah dalam mimpiku. Aku sangat merindukanmu, entah berapa liter air mata yang terbuang sia-sia saat kulalui dingin malam dalam rindumu. Kau tahu bagaimana rasanya memendam rindu seperti saat kau menanti seseorang, maka seperti itulah perih batin yang kurasakan.

Tuan!!
Entah berapa kali aku telah mengucapkan janji untuk melupakanmu, namun segalanya menjadi sangat sulit, ketika mereka kembali menyebut namamu. Ketika namamu muncul di monitorku, ketika beberapa nyanyian mengisahkan tentang kita.

Aku tak tahu pasti bagaimana perasaanmu terhadapku. Adakah kau menganggap kehadiranku? Apakah kau masih mengingat kenangan kita? Dan mungkinkah kau tahu seperti apa isi hatiku untukmu? aku tak dapat memastikannya dengan jelas. Namun, pengabaianmu membuatku menyimpulkan bahwa aku bukan siapa-siapa untukmu.

Memang sulit untuk melupakan secercah cinta, namun terus berusaha tidak ada salahnya. Iya, aku akan melepasmu meski itu dengan luka. Dan kuharap, kau selalu menjadi dirimu, sosok yang sedingin es, sosok yang mampu meluluhkan hati wanita manapun ketika mereka menatapmu.

Untuk seorang teman yang sedang kesepian…
Simpan air matamu untuk seseorang yang lebih berharga….
090114
Zatul Omaira