Semanis Senyummu


Dia masih terdiam di bangku taman itu. Masih bergeming dalam rinai air mata. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Membiarkan ia melepas segala gundah bersama mentari yang kembali ke peraduannya.
Azan magrib telah didendangkan. Sahut menyahut suara para muadzin memanggil umat manusia menghadap Sang Khalik sejenak. Meski berat, kucoba langkahkan kaki ini meninggalkan temanku yang masih terpekur bisu.
***
“Lelaki bodoh!!”, gumamku dalam hati.
Bagaimana mungkin ia tega menyakiti wanita setulus temanku ini? Apakah ia tak dapat melihat binaran cahaya cinta yang sangat tulus pada matanya? Apakah ia tidak bisa membedakan mana cinta dan mana nafsu? Benar-benar pria yang bodoh; terlalu naïf.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati sahabatku itu. Aku ingin memeluknya, namun aku tak mampu. Aku tak sanggup mendengar dan melihat kehancurannya, karena aku juga pernah mengalami hal sepahit itu. Dan aku tak ingin mengulang masa lalu. Aku tak bisa mengenang apapun yang pernah kurasa dulu.
***
Suatu hari, ketika kita sedang menikmati kemesraan fajar. Dengan wajah berbinar, ia berkata padaku, “Aku sangat mencintainya. Aku ingin memeluknya, aku juga ingin memilikinya. Merenda kemesraan, semesra sinsingan fajar.”
“Apakah kau yakin? Apakah kau percaya jika ia juga mencintaimu sedalam kau mencintainya?”, tanyaku tanpa menatap wajahnya.
“Entahlah…, aku tak punya keyakinan yang begitu besar terhadap perasaannya. Aku juga tak dapat melihat binaran cinta di bola matanya. Namun, sikapnya menggambarkan bahwa ia juga mencintaiku.”, jawabnya penuh harapan.
“Hmmm… aku tak tahu harus mengatakan apalagi. Setidaknya, janganlah terlalu percaya pada cinta. Jangan cepat mengambil kesimpulan karena perhatiannya. Patah hati itu sangat menyakitkan teman..”, ucapku berlinang air mata.
“Aku tahu itu. Tapi, aku akan tetap tegar. Aku akan menerima semua konsekuensinya…”, jawabnya sembari tersenyum padaku.
Kini, semuanya telah berakhir. Senyum manis di hari itu telah sirna untuk selamanya. Hanya ada duka yang amat dalam terlukis pada wajah itu.
Aku mencoba menghampirinya. Mencoba untuk memeluknya yang sedari waktu memeluk luka. Ia masih tersenyum, meski senyum itu pahit. Ia mencoba menyembunyikan lukanya. Namun, dayanya tak lagi sekuat dulu. Ketegarannya hancur berkeping-keping. Dan puing-puing kesabarannya entah kemana dibawa angin.
Dalam rinai air mata kepedihan, dengan suara yang tercekat, ia mulai meluapkan emosinya. Melimpahkan semua kepahitan pada semesta. Padaku juga.
“Kau benar teman, patah hati itu memang sangat menyakitkan. Bahkan rasanya hingga nyawa seperti ingin meninggalkan raga.”
“Lantas, kau menyesal pada pilihanmu?”, tanyaku hati-hati.
“Tidak! Aku tidak pernah menyesal atas pilihanku. Aku tidak penah kecewa memilih jalan ini, hanya saja aku terlalu rapuh terhadapnya.”
“Ya, semua orang tentu saja akan berkata sepertimu (juga aku). Namun, kau harusnya menjadikan ini sebagai pelajaran terbaik dalam hidupmu, agar kau tak lagi tersesat.”
“Benar. Aku akan menjadikannya pelajaran yang paling berharga. Tetapi, kalimatnya terlalu menyakitkan. Hingga ragaku seakan remuk ketika ia menampar hatiku dengan kalimat pahit itu.”
“Benarkah? Bagaimana bisa ia membuatmu sedemikian terluka?”
“Ia berkata dengan lembut, namun amat menyakitkan : Maaf, aku tidak pernah mencintaimu. Aku tidak bisa mencintaimu, dan apa yang kulakukan selama ini hanyalah paksaan dari mereka yang ingin menyatukan kita. Maafkan aku!!”, tangisnya pecah setelah mengulang kembali kalimat itu.
Aku hanya bisa memeluknya. Membiarkan ia membarakan segala amarahnya pada air mata. hatiku tak dapat menerima perlakuan pria itu (lebih tepatnya pecundang brengsek itu).
***
Semua berlalu begitu saja. Waktu terus berjalan. Dan kepahitannya kini berubah manis, semanis senyumnya.
Untuk seseorang yang terluka amat dalam..
Dia yang mampu mengubah maja semanis tebu….
Zatul Omaira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar