Hujan
masih mengguyur semesta dengan derasnya. Udara dingin seakan menikam hingga ke
ulu hati. Sudah tiga jam aku duduk di halte ini, berteduh sembari menunggu
bus datang, namun tak satu pun terlihat.
Hari
mulai gelap dan ragaku sudah tak kuat menahan dingin yang kian mencekam. Ku
putuskan untuk pergi ke persimpangan, mungkin saja ada taksi di sana. Tetapi,
niatku terurung ketika sesosok pria berkacamata minus berlari ke arah halte.
Ia
melemparkan senyum padaku, aku juga membalasnya. Hatiku berdegup dan jantung ini
berdebar amat cepat, serasa akan terlepas dari rongga dada. Darah ku tersirap.
Dingin yang tadinya amat mencekam, kini terganti kehangatan yang tak pernah
kurasakan sebelumnya.
“Ternyata
seperti ini rasanya berada di samping orang yang kita cintai”, bisik hatiku.
Hanya
suara rintihan air yang menemani. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari
kami. (Mungkin) Sibuk berdialog dengan hati masing-masing. Mataku menatapnya
dengan seksama, memperhatikan seluruh bagian wajahnya, hingga tak ada yang terlewatkan, ingin kusimpan wajah itu rapat-rapat, agar tak lekang oleh waktu. Namun,
aku tak memiliki keberanian yang amat besar, meski jiwaku terus bergejolak.
“Hujannya
masih sangat deras, sudah lama menunggu di sini?”, ucapnya membuka percakapan.
“Ii..iya.
Lumayan lama..!”, jawabku kaku.
Jujur
saja, ada rasa bahagia yang terukir dalam. Aku tak pernah membayangkan bisa
berbicara dengannya. Karena selama ini, aku hanya memperhatikannya dari jauh
saja.
“Oh
iya, kamu di sini hanya berteduh saja atau sekalian menunggu bus?”, tanyanya
kembali.
“Dua-duanya.
Kamu sendiri?”, tanyaku kembali.
“Sama!
Tapi, aku harus melanjutkan perjalanan dengan kereta untuk sampai di Busan!”
“Kamu
tinggal di Busan?”, tanyaku memberanikan diri.
“Tidak,
aku tinggal di Seoul. Hanya saja ada kepentingan di Busan. Kamu sendiri tinggal
di mana?
“Aa..
aku tinggal di Busan..”, jawabku sekenanya.
“Oh,
kalau begitu kita searah.”, jawabnya sambil melempar senyum kepadaku.
“Iya..!”,
jawabku singkat.
Kami
pun kembali terdiam, persis seperti patung es. Sebenarnya, aku masih ingin berdialog dengannya, tetapi bus telah berhanti tepat di depan kami.
Ia mempersilakan aku duluan, dan aku duduk tepat di belakangnya.
Ia terlihat sangat lelah. Semua tergambar apik oleh gerak-gerakannya, juga tarikan napas yang amat berat, seakan ada seribu newton beban yang menggantung. Mataku tak bisa lepas dari sosok itu, meneliti dengan jelas seluruh tingkahnya.
Aku tersenyum malu, menyadari tingkah konyolku ternyata diperhatikan penumpang di sampingku. Mungkin ia tahu, jika aku menyukai lelaki itu.
Aku tersenyum malu, menyadari tingkah konyolku ternyata diperhatikan penumpang di sampingku. Mungkin ia tahu, jika aku menyukai lelaki itu.
Perjalanan
yang biasanya terasa panjang, hari ini menjadi kian singkat. Bisa saja karena
aku sibuk memperhatikan lelaki itu. Hingga melupakan lelahku dan perjalanan
waktu. Kami sampai di stasiun, dan hujan masih turun dengan deras. Aku pun sedikit
berlari untuk mencari tempat berteduh.
Langkahku
terhenti, ketika sosok wanita nan anggun datang dengan payungnya menghampiri
lelaki itu. Hatiku hancur, saat kulihat mereka begitu akrab, tampak sinar cinta
terpancar dari keduanya.
Air
mataku jatuh lebih deras dari hujan yang turun saat ini. Sendi-sendiku terasa lemah. Saraf-sarafku seakan berhenti bekerja, membuat raga nyaris mati rasa.
Banyak
mata yang memandangku heran. Namun, tak satupun diantara mereka tahu jika
aku menangis. Tidak ada yang mengerti bahwa aku terluka amat dalam. Dan aku tak
pernah tahu apa yang ada dalam benak mereka.
Kebahagiaan yang tadi mengistana di hati, kini luluh lanta. senyum yang sedari tadi terukir kokoh, kini porak-poranda. terganti air mata pilu, yang membuat jiwa siapapun yang merasakan akan menjerit.
Dalam perih, kucoba membangun kembali semangat yang hilang. Tak ada yang perlu ku tangisi. Bukankah lebih baik jika ku ketahui kebenaran tentangnya lebih cepat, meski tak secepat dan sepedih yang ku kira.
Dalam perih, kucoba membangun kembali semangat yang hilang. Tak ada yang perlu ku tangisi. Bukankah lebih baik jika ku ketahui kebenaran tentangnya lebih cepat, meski tak secepat dan sepedih yang ku kira.
Dan
kini, pertanyaan (apakah cinta pertama selalu menyakitkan?) yang selama ini
terurung dalam benakku telah terjawab. Ya, tidak semua cinta pertama
menyakitkan, namun kebanyakan dari kisah yang mereka alami (termasuk
aku) cinta pertama terlalu sulit untuk berhasil.
Ku
pungut kembali sisa-sisa energiku yang tergeletak dalam kidung
pilu. Ku asumsikan sugesti positif dalam diriku, bahwa
cinta tidak selamanya harus saling
memiliki.
Tegarlah dalam harapmu,
karena Allah selalu memberikan yang terbaik…
07 Maret 2014
Zatul Omaira
keren dek.. (y) :)
BalasHapusTerimakasih kakak :)
BalasHapus