Sabtu Petang #5


Senja…
Hari ini kita bertemu sembari ditemani sebuah lagu yang berjudul “Fall For You” yang dinyanyikan apik oleh band Secondhand Serenade, lagu yang penuh makna bagi mereka yang mengalami kisah seperti goresan kata lagu itu.
Kau tahu senja?
Tadi malam, seseorang menyanyikannya untukku. Aku sangat mengerti maksudnya menyanyikan itu, sayang dia bukan seseorang yang kudambakan. Dia bukan orang yang selalu mengganggu malamku, bukan dia.
Senja…
Aku merasa aneh dengan diriku. Aku mengabaikan dia yang (sepertinya) tulus menyayangiku, lantas aku terus mengharapkannya. Dia yang tidak pernah peduli padaku, dia yang tak ingin tahu seberapa besar kerinduan yang telah membuncah.
Senja…
Aku sadar, bahwa aku sangat bodoh. Menyia-nyiakan seseorang yang selalu sigap mengukir senyum dihariku. Namun, aku tak pernah bisa melihat ketulusan itu. Aku dibutakan cinta yang tak bermakna.
Senja…
(Mungkin) Mimpi yang semalam sengaja dihadirkan Tuhan dalam tidurku adalah petunjuk agar aku melupakannya. Tapi, aku tak bisa. Aku bahkan tak mampu mengendalikan diriku untuk membencinya. Dia memikatku terlalu kuat, seperti magnit.
Senja…
Aku lelah terus-terusan menyimpan rindu ini. Aku jenuh setiap hari melihat bayangnya. Mungkinkah ini hukum Tuhan karena aku mengabaikan mereka. Dan sekarang aku yang terabaikan??? Semoga ini tak seperti yang terlintas dalam benakku.
Senja…
Maafkan aku!!! Hingga detik ini, kisah kita masih terisi dia yang tak ingin kusebut namanya. Ku harap kau selalu mendoakan aku agar lekas melupakannya.

210913
Zatul Omaira

I Love My Self Much :)


“Setiap orang termasuk aku pasti pernah memikirkan kalimat andai aku menjadi…..!!!!”
Andai, kata yang selalu terucap dari sudut bibir yang membeku. Ya, andai. Sampai kapanpun kata itu akan tetap menjadi sebuah harapan, kecuali Tuhan menyatukan takdir dan doa dalam impian nyata, maka andai tak lagi menjadi andai.
Pernah suatu hari, sebuah imajinasi aneh terlintas dalam benakku, “andai aku menjadi bulan”. Andai saja aku diciptakan menjadi bulan. Betapa bahagianya raga ini. Saat purnama terpancar indah menghiasi lukisan malam, semua mata tertuju padanya.
Meski hanya dalam waktu yang singkat, keanggunannya terkenang sepanjang waktu. Purnama tergambar bahagia dalam jejaknya. Bagaimana tidak? Meski untuk bertemu mentari ia harus menunggu begitu lama, namun ketenangannya dalam menyimpan sejuta kegelisahan, kehebatannya menerangi pekat malam adalah motivasi pembangkit jiwa bagiku.
Tapi, aku sadar. Seindah apapun sang rembulan, sehebat apapun ia. Menjadi diriku sendiri adalah yang terbaik. Aku tahu, Tuhan tak mungkin meyiapkan scenario takdir hamba-Nya dengan script penuh air mata. Hanya ada luka. Tentu saja tidak.
Kasih sayang-Nya jauh berbeda dengan kasoh hamba-Nya. Jika bahagia bersama mereka adalah tawa, tapi bahagia dengan-Nya adalah luka. Luka yang sangat kunikmati, luka yang pada waktunya berubah menjadi anggrek nan wangi.
Meski terkadang aku membenci diriku sendiri. Aku muak dengan kehidupanku, aku jenuh dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Merasa seperti hidup dalam jerami, pengap dan menyesakkan. Semata-semata karena emosionalku yang sulit di stabilkan. Remaja labil.
Setelah semua ku lalui. Setelah berhari-hari ku renungkan, betapa tak bersyukurnya aku? Rabbi telah memberikan kesempurnaan lahir batin bagiku, sedang aku tak pernah mensyukurinya.
Ku tatap kembali gadis kecil di kursi roda itu. Meski ia tak bisa memandang indahnya rembulan. Tak pernah mendengar merdunya nyanyian jangkrik. Dan tak pernah bisa mengungkapkan laranya pada semesta, ada satu hal yang tersemat baik pada dirinya. Ya,, senyum tulus yang tak pernah kutemukan pada diriku.
Rabbi, maafkan aku yang sulit mensyukuri nikmat-Mu. Ampuni aku yang tak pernah puas dengan rahmat-Mu. Rabbi, betapa malunya aku yang tak pernah bisa mengendalikan rasa cinta pada-Mu agar tak berbaur dengan cintaku pada ciptaan-Mu. Rabbi, jadikan aku sebagai bagian dari bidadari surge-Mu agar kelak kutemukan pangeran impian hati ini.
Seperti apapun keadaan menjepit, aku akan tetap menjadi aku. Aku adalah aku yang takkan pernah menjadi siapapun. Aku yang tak sama dengan mereka, aku yang hanya pada diriku. I love my self so much!!!!!

22.55/180913
Untuk mimpiku
Zatul Omaira

Sabtu Petang #4


Senja….
Hari ini kau sangat menawan. Sang mentari menyerupai purnama sempurna dengan warna jingga yang sendu menghiasinya. Sayangnya, aku merasa lebih buruk dari pertemuan kita sebelumnya.
Senja…
Kemarin ada kalimat yang tak sengaja kubaca dari akun jejaring sosialku. Kalimat yang tentunya membuatku sakit lebih dari sebelumnya. Kalimat yang membuatku harus merelakan beberapa butiran air mata jatuh mengenangi pipi tirusku.
Senja…
Beberapa detik yang lalu aku melihat lampu hijau di layar kecilku menyala. Lampu yang menggambarkan bahwa dia juga sedang aktif berselancar di dunia maya yang kejam itu. Beberapa detik yang lalu juga dia menyukai salah satu kalimat yang tak sengaja ku tulis di dinding ratapan itu.
Senja…
Wajah itu… wajah yang dulu kurindukan. Wajah yang dulu kun anti kehadirannya, kini merubah segalanya. Aku mulai muak setiap kali melihat hadirnya di balik monitorku. Aku benci ketika mereka menyebut namanya, bahkan aku tak lagi bisa mendengar segala hal yang berhubungan dengannya. Tiap kali mereka menyebutnya, hatiku perih. Otot-ototku tak lagi bisa bergerak, aku mati rasa.
Senja…
Kamu tahu segalanya. Kamu sangat mengerti tentang luka yang kian hari kian membesar. Aku tak lagi bisa mengungkapkan bagaimana rasa perih yang mendera. Aku tak punya kekuatan untuk menghadapi kekejaman dunia terhadapku. Adakah salahku yang demikian hebat, hingga harus kuterima perih yang menyesakkan ini?
Senja…
Walaupun kau mulai bosan dengan ocehanku yang tak bermakna ini, ku harap kau tak pernah meninggalkanku. Aku selalu merasa lebih baik jika menumpahkan segalanya padamu. Kamu lebih mengerti dari mereka yang memiliki nurani.
Senja…
Sampaikan jutaan terimakasihku pada Rabbi atas kenikmatan dalam tiap tarikan nafasku. Tolong bantu aku menebus salahku pada-Nya karena lebih mencintai ciptaan-Nya daripada mencintai-Nya yang jauh lebih mencintaiku dari segalanya.
Senja…
Kau percaya padaku bukan, bahwa suatu saat nanti cerita kita tak lagi dihiasi kisah tentangnya…


14092013
Zatul Omaira

Memories Of 17September


Tiga belas tahun yang lalu, saat suara keras pecahan ban mobil terdengar. Ketika beberapa dari mobil itu terguling dan menembus pembatas jalan, kenangan menyakitkan itu terjadi. Ledakkan dahsyat dinamit, suara peluru yang nyaris menembus tulang dan kobaran si jago merah. Semua masih terekam segar dalam ingatanku.
Minggu pagi yang cerah. Saat semua orang sibuk dengan rutinitas masing-masing, na’as itu datang. Hari itu, seperti kebiasaanmu setiap kali kau libur dari kelelahanmu, kau datang menghampiriku, mengamit tangan mungil ini dan mengajakku bermain.
Gadis mana yang tak menyukai harumnya parfum favoritmu itu, bahkan aku si gadis kecil yang tak mengerti apapun saat itu sangat menyukainya. Aku menyukai kesederhanaanmu, aku mencintai kasihmu yang lebih dari kasih seorang ayah. Iya__ aku sangat merindukanmu.
Tepat pukul 10.00, ketika semua aktivitas berada di puncaknya, tiba-tiba…. “dorrrrr”, suara ledakkan yang menggentarkan sukma memecah keributan. Selanjutnya, aksi ala film Hollywood pun nyata terjadi. Perang!!!
Kontak senjata antara sesama mereka yang memilikinya secara legal berlangsung. Aku hanya bisa menangis dalam dekapan mama, bersembunyi dalam ruang sempit di balik rumah tua itu. Yang ku dengar hanya sebutan Asma-Mu dari setiap bibir yang pucat.
Gang sempit yang tadinya ramai oleh kesibukkan penduduknya, kini lenggang tak bernyawa. Rumah-rumah panggung yang tampak asri, tiba-tiba menjadi begitu suram. Setiap tamannya telah dikepung rapat oleh mereka yang entah siapa, aku tak mengenal wajah-wajah itu.
Suara dobrakkan dari sepatu kulit yang begitu khas nyaris menghentikan detak jantung seluruh insan. Lemah tak berdaya dalam cobaan yang diberi Illahi.
Setelah beberapa saat lamanya, setelah caci maki menyeruak di gang itu, semua laki-laki mereka tangkap. Tanpa alasan yang jelas, mereka membawanya paksa.
Kau juga ikut pergi, dengan keteduhan wajahmu, dengan ketakutan yang entah bagaimana kau sembunyikan, kau berlalu sambil tersenyum dan berkata “tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa”.
Aku hanya menatap kepergianmu dengan mata yang berbinar, tak pernah terbayang pelukan dan harumnya parfummu pagi itu adalah saat terakhir bersamamu.
Masih dengan beberapa caci yang terlontar dari mulut mereka yang tak ku kenal. Suasana haru nan perih itu menyelimuti. Tatapan tajam yang mulai melembut dengan senjata yang tampak menakutkan, seseorang datang mendekati dan berkata “tenanglah”.
Saat ia mengucap kata-kata itu, bukan rasa tenang menghampiri, tapi ia telah menciptakan kebencian yang amat sangat dalam diriku, kebencian dan dendam yang mungkin akan kubawa mati.
            Sudah lebih dari 120 menit sejak mereka membawamu pergi. Ku pandangi wajah mama dan nenek yang cemas mencari jejakmu yang hilang tak berbekas. Entah apa yang terjadi selama dua jam tadi di pinggir jalanan itu, hingga saat kami berusaha menjemputmu, hanya sehelai baju kaos yang kau kenakan tadi pagi bersama dompet hitammu yang tersisa.
            “Lalu, kemana mereka membawamu?????????”
***
Ya, hari ini tepat tigabelas tahun kami kehilanganmu. Sosok yang tulus dalam keseerhanaan. Sosok yang selalu melampiaskan kegelisahan pada dirinya, sosok yang tidak pernah membentak hebat saat emosi menguasainya, sosok yang begitu kurindukan.
Setelah tigabelas tahun berlalu, tak ada tanda apapun yang bisa memberikan keterangan tentang keberadaannya, bagaimana kabarnya? Sedang apa ia? Masihkah ia di sini atau mungkin ia sudah bersama bidadari yang diimpikannya? Tak ada yang tahu, kecuali Tuhan dan malaikatnya.
Jika tigabelas tahun yang lalu aku masih berusia empat tahun, masih menjadi seorang gadis yang belum mengerti lika-liku kehidupan, kini semua berbeda. Perjalanan waktu yang begitu cepat, mmbuatku menjelma menjadi gadis belia yang mulai mengerti rintangan hidup. Memahami setiap kesulitan melewati detik dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Memohon kesabaran pada rindu terhadapa sosokmu yang kian mencekam.
Jika pada saat itu aku belum memiliki seseorang yang bisa kuajak berbagi. Bebarapa detik silam, Tuhan mengirimkannya. Ia mengirimkan seseorang yang memiliki kesamaan sifat, sikap dan pemikiran. Bahkan, memiliki permasalahan yang sama. Hanya permasalah yang sama, tapi kita kehilangan orang yang berbeda.
Meskipun kini kehidupan kami telah berotasi jauh lebih baik, lebih bahagia, tapi kenangan tentangmu, sosokmu, takkan pernah terlupakan.
Setiap kali merindukanmu, kutatap piano kecil yang tak lagi bersuara itu. Aku masih menyimpan piano kecil dari mu, hadiah ulang tahunku yang ketiga darimu. Kau memberikannya karena aku berharap akan menjadi seorang pianis suatu saat nanti. Tapi, setelah semua terjadi, setelah aku kehilanganmu aku tak lagi berpikir untuk menjadi seorang pianis, aku ingin menjadi seseorang yang mampu mengobati luka yang terpahat sedalam apapun itu. Aku ingin menjadi sosok seperti embun yang lembut dan menyejukkan.
Benih-benih kesedihan tentangmu masih tersimpan rapi pada lobus-lobus hatiku. Seperti halnya kebencian pada mereka yang berseragam aneh, seragam yang sangat kubenci. Tapi, aku sadar, sedalam apapun aku membenci mereka, tidak akan membuatmu kembali, tidak akan menemukan titik terang tentangmu, semua hanya akan menyiksaku. Sekuat daya yang kumiliki, akan kuusahakan untuk menghapus kebencian itu, agar aku bisa merelakan janjimu pada-Nya.

Ingatan kecil tentang 17Sept2000
Untuk Paman tersayang yang hilang tanpa jejak
Yang lebih Dicintai Rabbi-mu
Gadis kecilmu (Zatul Omaira)